Jakarta, juranalkotatoday.com
Rektor Universitas Pancasila, Prof Marsudi Wahyu Kisworo menyampaikan bahwa pendidikan karakter sebagai pondasi kesuksesan seseorang semakin penting diterapkan. Pasalnya, secanggih apapun mesin pintar atau Artificial Intelligence (AI), tak bisa mereplikasi karakter manusia.
Hal itu ia sampaikan pada kuliah umum Fakultas Psikologi dengan topik 3 Dosa Besar pendidikan: Peran Mahasiswa sebagai Agen Pengubah, di Kampus Universitas Pancasila, Depok, Selasa, (20/9/2024).
Seminar ini membahas 3 dosa besar pendidikan versi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dari hasil survei mereka yaitu kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.
“Saat ini pendidikan karakter justru makin penting. Pekerjaan-pekerjaan fisik nanti akan diambil alih oleh mesin-mesin pintar atau AI, namun ada satu hal yang tidak bisa direplikasi oleh AI secanggih apapun, yaitu karakter manusia,” ujar Prof Marsudi.
Dikatakan, pemahaman ini seharusnya harus dipahami oleh semua mahasiswa dan semua orang,” ujarnya.
Lebih dari sekadar kecerdasan intelektual, menurutnya, karakter yang kuatlah yang menjadi penentu utama keberhasilan dalam menjalani hidup. Ia menyatakan keberhasilan hanya 10% ditentukan oleh intelektual dan 90% oleh karakter bukanlah sekadar ungkapan, melainkan sebuah kebenaran yang telah terbukti.
“Sayangnya pendidikan karakter masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Hal ini terjadi lantaran sistem pendidikan kita belum memberi ruang untuk menumbuhkan karakter yang baik,” tegasnya.
Ia mencontohkan paradigma pendidikan, yakni Tut Wuri Handayani dinilai sudah tidak relevan. Namun yang tepat adalah Ing Ngarso Sung Tulodo. Dengan paradigma demikian, menyebabkan tidak memberikan kebebasan pada murid untuk berkreasi.
“Kemdikbud mengkorupsi ajaran Ki Hajar Dewantoro dengan mengambil prinsip terakhir yaitu Tut Wuri Handayani (Dari belakang mendoakan). Seharusnya adalah Ing Ngarso Sung Tulodho (Di depan memberi contoh). Rusaknya karakter bangsa disebabkan oleh para pemimpin, tokoh, dan guru yang tidak memberi contoh yang baik,” ucapnya.
Lebih jau disampaikan, sistem pendidikan juga tidak tidak memungkinkan peserta didik untuk bekerja sama. Dengan adanya sistem perangkingan, peserta didik terus diajak bersaing.
“Bahkan banyak sekolah mengelompokkan anak pintar dengan anak pintar, yang membuat terjadinya persaingan antar mereka. Itu menjauhkan dari karakter kerja sama,” katanya.
Makanya menurutnya, tidak heran jika olahraga di Indonesia yang berhasil memenangkan kompetisi adalah olahraga individual, bukanlah tim atau kelompok. Karena pendidikan tidak mengajarkan bekerja sama atau bekerja tim.
Ia juga mengungkapkan pendidikan kita belum mengakomodir dan menggali bakat setiap peserta didik. Padahal setiap orang ada kelebihan dan bakat masing-masing.
“Pendidikan harusnya menggali bakat itu bukan malah menutupi bakat dengan yang lain. Anak yang tidak pintar matematika atau fisika tetapi pintar basket, seharusnya diajarkan basket bukan matematika, jadi bakat basketnya jangan dimatikan,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Prof Marsudi, pendidikan di Indonesia hanya mengakui anak pintar adalah anak yang memiliki nilai akademik tinggi, misalnya jika ia memiliki nilai matematika 9, fisika 9 maka dianggap anak pintar. Tidak menghargai kecerdasan multiple.
Pekerjaan rumah selanjutnya, menurut Rektor Marsudi. “Adalah pendidikan kita belum mengadopsi karakter generasi sekarang,” ujarnya.
Menurutnya, generasi sekarang yaitu generasi milenial dan gen z memiliki karakter yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Sehingga cara pendekatan pendidikan dan pengajaran pun sebaiknya juga berbeda, dan disesuaikan dengan karakter mereka.
“Generasi kini berubah, sekarang generasi milenial, generasi z itu lebih terbuka, sangat fasih gadget, temennya tidak secara fisik. Mereka memiliki teman 5K tetapi teman fisiknya hanya 3 orang itu adalah fakta. Generasi sekarang seperti itu, maka gurunya harus berubah,” tuturnya.
Di satu sisi pengajarnya atau gurunya masih memiliki paradigma zaman dulu, yang tidak paham dengan generasi sekarang. Akibatnya murid-murid tidak diajarkan dengan cara yang baik yang sesuai dengan kebutuhan generasi sekarang.
Ia juga menganjurkan para guru dan dosen harus sangat memahami adanya perubahan budaya generasi sekarang. Perubahan yang terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Adanya era globalisasi termasuk ekspor budaya global melanda di seluruh dunia.
“Jadi yang kita lakukan adalah bukan menuntut murid-murid berubah, tetapi kitalah yang harus berubah. Bagaimana murid-murid ada yang seperti itu dan kita arahkan untuk kebaikan,” paparnya.
Untuk membenahi hal ini, ungkap Prof Marsudi, dapat melalui penyesuaian kurikulum. Ia juga menilai kurikulum yang sekarang belum tepat. Seharusnya struktur kurikulum untuk level Sekolah Dasar atau SD lebih pada membangun karakter. Selanjutnya untuk level menengah masuk pada penguatan skill termasuk calistung dan ilmu pengetahuan dititik beratkan saat di jenjang pendidikan tinggi.
“Makanya struktur kurikulum harus diubah seperti itu karena karakter itu pondasi. Karakter seseorang tidak bisa terbentuk saat telah jadi mahasiswa, tidak bisa. Karakter itu bisa dibentuk saat pendidikan usia dini sampai tamat SD. Apakah anak itu suka merundung atau kesewenang-wenangan atau tidak, itu dibentuk ketika kecil,” tandasya.Dedy.