Jakarta, jurnalkota.id
Tingginya polusi di Jakarta menimbulkan kerugian berganda yang sangat serius, baik dari sisi lingkungan, kesehatan bahkan kerugian ekonomi. Menurut Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 80 persen penyakit tidak menular (Non Comunicable Desease) di Kota Jakarta pemicu utamanya adalah polusi, sehingga masyarakat di Jakarta menjadi gampang sakit.
Tidak hanya itu, dampak polusi udara juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat dahsyat. Sebuah kajian mendalam oleh tim peneliti Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (2015) mengestimasikan bahwa secara nasional kerugian ekonomi akibat polusi udara mencapai Rp 373,1 triliun/tahun, atau setara dengan 5,03 persen PDB (Produk Domestik Bruto).
Menanggapi hal ini, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Prof. Budi Haryanto mengatakan, bahwa salah satu penyebab utama tingginya polusi di Jakarta dan sekitarnya adalah masih banyaknya pemilik kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) ber-oktan rendah. Untuk itu ia menghimbau Pemerintah untuk menghapus atau menghilangkan BBM beroktan di bawah RON 91.
“Penghapusan BBM beroktan rendah seharusnya bukan hanya wacana tapi harus direalisasikan, karena sudah terlalu lama masyarakat dan lingkungan Jakarta, Bodetabek bahkan kota-kota besar di Indonesia tercemar oleh bahan bakar minyak yang tidak ramah lingkungan,” kata Prof Budi saat dihubungi jurnalkota.id, Selasa (30/6/2020).
Menurut Prof.Budi, pada prinsipnya kualitas BBM ditetapkan dengan pertimbangan efek terhadap polusi udara dan kesehatan manusia. Semakin baik kualitas BBM, akan semakin terjamin kesehatan masyarakat yang memang tidak bisa menghindar dari emisi kendaraan bermotor.
“Premium itu masih berada di level Euro 2 (sulfur 500 ppm). Sedangkan pertalite lebih baik sedikit dari premium (sulfur 200 ppm). Tapi menurut saya kedua jenis BBM ini dan juga solar sudah saatnya dihapus,” tukasnya.
Lebih jauh Prof.Budi menjelaskan, bahwa saat ini negara-negara tetangga dan hampir semua negara sudah menggunakan BBM berkualitas Euro 4 (sulfur 50 ppm). “Dan ternyata di negara-negara yang sudah menggunakan Euro 4 sejak lama, penyakit-penyakit terkait polusi udara menunjukkan penurunan yang signifikan,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Pemerintah melalui Permen LHK No 20 Tahun 2017, berupaya mengendalikan pencemaran udara dengan menetapkan baku mutu gas buang kendaraan. Dengan mengacu pada BBM untuk Gasoline (Bensin) menggunakan Research Octane Number (RON) dan Gasoil (Solar) yang menggunakan Cetane Number (CN). Standar fuel tersebut juga sesuai dengan spek kendaraan terkini.
Beberapa zat yang dihasilkan dari emisi gas buang kendaraan yakni Karbon Monoksida, Nitrogen Oksida, Hidrokarbon berdampak buruk bagi kesehatan, diantaranya zat karbon monoksida dapat mengakibatkan pusing, sakit kepala dan mual, nitrogen oksida mengganggu saluran pernafasan. Sedangkan hidrokarbon membahayakan bila berada di dalam tubuh manusia dalam jumlah yang banyak.
Bahkan pada tingkat tertentu, emisi gas buang kendaraan dapat mengakibatkan dampak kesehatan yang lebih berat mulai dari gangguan pada sistem peredaran darah (kardiovaskular), menurunkan kemampuan gerak tubuh, serangan jantung, hingga kematian.
Untuk itu, Pertamina terus mendorong masyarakat untuk menggunakan BBM yang sesuai spek kendaraan. Karena selain mampu mengoptimalkan pembakaran dan meningkatkan performa mesin juga dapat mengurangi emisi gas buang kendaraan yang berdampak buruk bagi kesehatan.
Menurut VP Corporate Communications Pertamina, Fajriyah Usman, pihaknya terus melakukan edukasi dan mendorong konsumen agar beralih menggunakan BBM yang lebih ramah lingkungan. “Seperti yang sudah kita rasakan sejak PSBB, langit biru dan udara lebih baik, untuk itu kami akan mendorong masyarakat untuk menggunakan produk yang lebih berkualitas,” katanya beberapa waktu lalu.(Sya)