Jakarta, jurnalkota.id
Di tengah kemajuan modernitas, termyata bentuk-bentuk perawatan kearifan lokal Pela Gandong di Maluku masih tetap ada dan terjaga hanya saja kurang terekspos. Salah satunya adalah kegiatan Panas Gandong Empat Negeri Bersaudara, Booi, Abaru, Kariu dan Hualoy (BAKH) yang rencananya akan digelar di Negeri Aboru, Kecamatan Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 2021 mendatang.
“Kegiatan ini adalah kelanjutan dari Panas Gandong yang sudah diadakan di Negeri Hualoy tahun 1950-an, kemudian di Negeri Booi tahun 1995, dan juga akan berlanjut ke Negeri Kariu. Dan tentu saja ini membuktikan bahwa kearaifan lokal Pela Gandong masih terus dirawat dalam ingatan dan praktek hidup Orang Basudara di Maluku,” kata Sekretaris Umum BAKH, DR. Abdul Manaf Tubaka dalam dialog publik bertajuk “Kearifan Lokal sebagai Penyangga Pembangunan Maluku” yang digelar TVRI Maluku di Ambon, Sabtu (12/12/2020) sore.
Manaf yang juga dikenal sebagai Antropolog dari IAIN Ambon ini mengatakan, sebagai modal sosial dan modal budaya, maka kearifan lokal Pela Gandong juga bisa dimasukan dalam kebijakan pembangunan daerah untuk mendukung kemajuan periwisata di Maluku. “Sebagai modal sosial dan modal budaya, kearifan lokal Pela Gandong bisa dimasukan dalam kebijakan pembangunan daerah untuk mendukung kemajuan periwisata di Maluku,” katanya.
“Di sektor pariwisata ini, kearifan lokal bisa memberi manfaat ganda yakni menjadi ajang promosi daerah dengan kekayaan alam dan budaya sebagai antraksi pariwisata itu sendiri, sekaligus bisa menjadi ruang pembudayaan nilai-nilai kearifan lokal melalui sektor pariwisata sehingga bedampak secara luas,” tambah dia.
Hal ini juga disampaikan Antroplog Unpatti Prof. Mus Huliselan pada kesempatan yang sama. “Pela Gandong bisa dijadikan ajang pariwisata Maluku melalui agenda tahunan Festival Pela Gandong atau Festival Makan Patita yang dilakukan oleh pemerintah daerah Maluku. Dan ini bisa berdampak ekonomi bagi masyarakat kalau pemerintah daerah mau melihatnya,” kata Prof Mus.
Untuk itu, ia berharap, kearifan lokal ini perlu didukung oleh pemerintah daerah, jangan sampai hanya dijadikan sebagai alat pemadam kebakaran saja oleh pemerintah. “Pemerintah perlu diingatkan untuk memperhatikan basis budaya yang masih hidup di tengah masyarakat ini. Sebab kearifan lokal Pela Gandong memiliki basis penberitahuan dan nilai-nilai keadaban terutama dalam pendidikan perdamaian yang penting bagi Maluku dan juga Indonesia,” paparnya.
Lebih jauh ia mengatakan, selain kearifan lokal yang lain, seperti budaya Ekonomi Sasi, Makan Patita, budaya festival Meti Key, dan juga makanan khas Maluku yang menjadi daya tarik tersendiri, Pela Gandong mengandung makna yang sangat dalam bagi masyarakat. Karena diangkat sebagai suatu modal sosial dan budaya yang bisa menjadi penyangga pembangunan di Maluku untuk memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI. “Budaya Pela Gandong memiliki kekuatan perekat yang disimbolkan dengan istilah Patasiwa dan Patalima dan juga Lor Siu Lor Lim,” ujarnya.
Menurut Prof Mus, keragaman sub-etnis di Maluku dapat disatukan dalam budaya Pela Gandong yang diwadahi dalam rumah besar bernama Patasiwa dan Patalima yang dihimpun menjadi logo pemerintah daerah yaitu Siwalima. “Logo pemerintah ini bermakna harmoni dari berbagai kepentingan yang ada di Maluku. Jadi ini sama saja dengan konsep Bhinneka Tunggal Ika dan Maluku sudah punya dasar hidup itu,” tukasnya.
Selain itu, sambung Manaf Tubaka, perilaku masyarakat Maluku sebetulnya mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dalam pikiran mereka. Hal ini dibuktikan dengan istilah potong di kuku rasa di daging, ale rasa beta rasa, sagu salempeng dipatah dua, katong dua satu gandong yang selalu mewarnai kehidupan masyarakat Maluku. “Ini istilah yang luar biasa maknanya. Ini local genius yang bersesuaian dengan semangat gotong royong dalam falsafah bangsa Indonesia. Karena itu, modal sosial dan modal budaya dari kearifan lokal harus menjadi penyangga pembangunan Maluku,” ujarnya.
Prof Mus juga menambahkan bahwa tujuan kegiatan dialog kearifan lokal ini selain sebagai ajang edukasi dan perawatan nilai-nilai kearifan lokal melalui media masa, juga sebagai upaya meminimalisir dampak perubahan modernitas yang melaju begitu cepat. “Sebab kearifan lokal bebasis pada interaksi yang natural dan penuh makna sosial. Sementara kemajuan modernitas melalui revolusi industry media, membuat interaksi social tergantikan melalui media sosial. Hal ini bisa berdampak pada perilaku yang simulasionis. Perilaku yang seolah-olah baik, tetapi hanyalah peniruan dari banjirnya arus informasi,” pungkasnya.(Sya).