Banyuwangi, Jurnalkotatoday.com
PT. Amerta Tani Maju (ATM) sebuah Perusahaan yang bergerak di bidang pertanian akan mengembangkan beras Japonica Koshihikari di Banyuwangi.
Beras asal Jepang ini memiliki rasa yang enak namun kadar gulanya rendah, sehingga bisa dikonsumsi secara aman dan baik bagi kesehatan tubuh.
Direktur Utama PT. Amerta Tani Maju (ATM), Thiono menjelaskan, bahwa Banyuwangi dipilih untuk pengembangan beras ini karena memiliki lahan yang subur dan juga dikenal sebagai lumbung beras nasional.
“Kami bergerak di pertanian padi jenis Japonica Koshihikari. Kami ingin mengembangkan di Banyuwangi,” jelas Direktur Utama PT. Amerta Tani Maju (ATM), Thiono, Rabu, (15/6).
Saat ini, menurutnya, pihaknya sedang melakukan penjajakan untuk melakukan pengembangan beras Koshihikari ini di Banyuwangi. Untuk itu pihaknya akan berkomunikasi dengan Pemkab Banyuwangi hingga pemerintah Desa.
“Kami ingin kolaborasi dengan Kades, Pemkab untuk menciptakan lahan prospek untuk penanaman berikutnya,” ungkapnya.
Sebelumnya beras Koshihikari ini telah ditanam di sejumlah daerah di Jawa Timur. Diantaranya, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Sidoarjo, Madiun, Kediri, Trenggalek, dan Jember.
Direktur Teknik PT. ATM, Djoko Ardhityawan mengatakan, bahwa di Banyuwangi untuk tahap awal akan melakukan demplot mungkin sekitar 5-10 hektar.
“Nanti kita lihat perkembangan kedepan. Kalau memang bagus kita ambil sebanyak mungkin. Karena saya lihat potensi alam Banyuwangi bagus sekali. Air cukup, karena Japonica memang butuh air yang cukup,” ujar Djoko.
Dia menjelaskan, beras Koshihikari ini biasa digunakan di restoran besar karena rasanya enak dan pulen. Yang paling penting menurutnya beras ini sehat karena kadar gula rendah sekali.
Saat ini umumnya beras memiliki rasa yang enak tapi kadar gula tinggi. Ada juga yang kadar gulanya rendah tapi tidak enak. “Ini kedua-duanya, sudah enak tapi kadar gula rendah,” tegasnya.
Ia juga mengatakan beras Koshihikari ini masuk Indonesia sejak 2014, tapi tidak banyak dikembangkan karena kesulitan pada proses dari gabah menjadi beras. Menurutnya, tidak semua penggilingan mampu memproses karena memang harus mengubah sistem di penggilingan.
Dalam pengembangannya nanti, lanjutnya, akan diterapkan sistem kemitraan. Pihaknya menyediakan benih dan talangan pupuk. Nanti setelah panen dan sudah menjadi gabah kering dibeli dengan harga di atas rata-rata. “Baru kami potongkan benih dan pupuk itu,” bebernya.
Satu hektar, menurutnya berpotensi menghasilkan 6-10 ton gabah. Kalau di Jepang hanya 4-5 ton per hektar. Ini karena lahan di indonesia sangat subur. Padinya juga tahan wereng. Sehingga hasil panen bisa maksimal.
“Pengalaman di daerah yang sudah ditanam, petani sangat antusias. Karena mereka panen bisa mendapatkan keuntungan lebih besar mereka akan senang,” ujarnya.