Garut, jurnalkotatoday.com
Wartawan senior di Garut, Asep Ahmad dari media Locus Online bersama kuasa hukumnya mendatangi Mapolres Garut pada Jumat, 25 Oktober 2024, untuk melaporkan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Garut.
Laporan tersebut terkait dugaan tindakan ketua KPU yang dianggap menghalang-halangi tugas jurnalistik di saat acara debat calon kepala daerah Kabupaten Garut yang dielenggarakan di Hotel Santika, Rabu 23 Oktober 2024.malam.
Kepada media, Asep Muhidin, SH., MH selaku kuasa hukum Asep Ahmad menyampaikan, bahwa Ketua KPU Garut diduga melakukan abuse of power, dengan melarang wartawan meliput kegiatan tersebut.
“Tindakan itu jelas melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengancam pidana penjara dua tahun atau denda hingga Rp.500 juta bagi siapa pun yang menghalangi tugas jurnalistik,” tegas Asep dalam keterangan Pers tertulis kepada sejumlah media, Jum’at, 25 Oktober 2023.
Namun, proses pembuatan Laporan Polisi (LP) di Polres Garut tidak berjalan mulus. Asep menuturkan bahwa unit Jatanras yang menerima kedatangannya sempat mengatakan, kalau seperti pencurian bisa langsung LP, tapi untuk pidana berdasarkan UU Pers ini belum pernah ditangani.
Hingga berita ini diturunkan, laporan yang diajukan oleh tim kuasa hukum Locus Online belum mendapatkan persetujuan dari pihak kepolisian.
“Menurut petugas SPKT, LP harus ditandatangani oleh unit terkait. Namun, Kanit Jatanras menyarankan kami membuat pengaduan masyarakat (Dumas) alih-alih laporan polisi,” jelas Asep.
Meski begitu, Asep bersikukuh ingin tetap membuat LP karena merasa unsur pelanggaran telah terpenuhi berdasarkan Pasal 18 UU Pers. “Memang Dumas dan LP memiliki alur pemanggilan yang serupa, tapi keduanya berbeda secara substansi,” sambungnya.
Asep juga menyebutkan bahwa Kanit Jatanras tengah berkoordinasi dengan Kepala Bagian Operasional (KBO) dan Kanit Tipidkor yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk memastikan penerapan pasal yang relevan.
“Keputusan akhir mengenai penerimaan LP kami masih menunggu instruksi dari Kasat Reskrim,” kata Asep.
Memang, Sebut Asep, sebagaimana disebutkan kanit Jatanras kalau menangani kejahatan yang hampir setiap saat petugas kepolisian tangani seperti, pencurian, penggelapan, pemerasan sudah biasa. Maka dari itu Asep Muhidin mendesak Polres Garut agar memberikan perlakuan yang sama terhadap laporan terkait dugaan tindak pidana oleh Ketua KPU Garut.
Ia menekankan bahwa penegakan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, seharusnya memiliki derajat yang setara dengan kasus pidana umum lainnya, seperti pencurian atau pemerasan.
“Polisi sudah terbiasa menangani kasus-kasus seperti pencurian dan penggelapan, tapi apakah karena ini terkait pers, derajatnya dianggap kurang penting?. Kami menuntut adanya persamaan perlakuan hukum. Jangan sampai aparat hukum merasa punya kendali penuh dan mengesampingkan hak-hak kami,” ujar Asep.
Asep juga menegaskan bahwa laporan yang diajukan pihaknya bukan soal pelanggaran kode etik KPU atau pemilu, melainkan murni dugaan pidana berdasarkan UU Pers.
“UU Pers adalah lex spesialis yang melindungi hak-hak wartawan dalam menjalankan tugasnya. Kami tidak melaporkan dugaan pelanggaran pemilu atau administrasi KPU, tapi fokus pada tindakan pidana yang menghalangi tugas jurnalistik,” tegasnya.
Pasal 18 ayat (1) UU Pers mengatur ancaman pidana bagi siapa saja yang secara sengaja menghalangi atau menghambat kerja pers, dengan ancaman penjara dua tahun atau denda hingga Rp.500 juta.
Asep berharap Polres Garut bersikap netral dan menerima laporan kliennya. Ia menolak opsi untuk mengubah laporan menjadi pengaduan masyarakat (Dumas), karena laporan yang diajukan sudah memenuhi unsur pidana.
“Jika Polres Garut tetap tidak menerima LP tanpa alasan hukum yang jelas, kami siap melaporkan kasus ini ke Polda Jabar dan Divpropam Mabes Polri. Kami juga akan mempertanyakan mengapa UU Pers tidak ditegakkan dengan baik,” ancam Asep.
Asep menekankan, bahwa kepolisian harus menghormati UU Pers, yang melindungi wartawan sebagai bagian dari pilar keempat demokrasi. Ia meminta kepolisian untuk memberikan penjelasan hukum jika menolak laporan ini.
“Jika UU Narkotika, UU Tipikor, dan UU Pemilu bisa ditegakkan, kenapa UU Pers seolah diabaikan?. Apa dasar hukumnya jika polisi tidak bisa atau tidak mau menegakkannya?,” tutup Asep.
Kasus ini berpotensi menarik perhatian publik dan menjadi ujian bagi aparat penegak hukum dalam menegakkan kebebasan pers, serta hak-hak jurnalistik di Indonesia. Saepul Zihad