Bandung, jurnalkotatoday.com
Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat (Jabar) tengah mengkaji 89 kasus pemalsuan Kartu Keluarga (KK) yang ditemukan dalam PPDB Jabar 2023. Jika terbukti, para siswa yang sudah masuk ke sekolah negeri terancam dipecat.
Kepala Disdik Jabar, Wahyu mengatakan bahwa Peraturan Gubernur (Pergub) Jabar memberikan otoritas kepada Disdik untuk membatalkan kelulusan peserta seleksi PPDB, jika terbukti melakukan pemalsuan data.
“Di Pergub kita bisa melakukan pembatalan untuk yang dokumennya tidak asli, tapi kami mengedepankan perlindungan terhadap anak atau siswa,” kata Wahyu, Kamis 3 Agustus 2023.
Wahyu mengungkapkan, pembatalan status peserta didik tidak dilakukan secara langsung. Nantinya, siswa yang terbukti datanya palsu diperkenankan mengikuti proses pendidikan hingga akhir semester genap.
“Jika dari 89 kasus, jika ditemukan kita akan melakukan pembatalan, tetapi kita prosesnya dalam satu tahun, artinya siswa tetap bisa sekolah di sekolah yang sama saat ini, untuk selanjutnya bisa keluar dari sekolah tersebut, jadi kami berikan satu tahun,” ujarnya.
Namun, Disdik juga memberikan keleluasaan kepada peserta didik jika ingin langsung pindah sekolah.
“Tapi bisa juga orang tua yang menghendaki dari sekarang menyekolahkan di sekolah lain silakan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat (Jabar) mengatakan, bahwa ada 89 kasus pemalsuan data PPDB Jabar 2023. Saat ini Tim Disdik Jabar tengah melakukan pemeriksaan dan koordinasi terkait data pemalsuan yang bisa dibawa ke ranah pidana.
Kadisdik Jabar, Wahyu Mijaya memastikan, bahwa 89 kasus tersebut terkait dengan pemalsuan data pada Kartu Keluarga (KK).
“Pak gubernur sudah menyampaikan ada 80-an yang diduga menggunakan data tidak benar/asli. Semuanya terkait dengan dokumen pemalsuan KK,” kata Wahyu di kantor Disdik Jabar, Kamis 3 Agustus 2023.
Wahyu mengungkapkan, 89 kasus manipulasi data KK tersebut terjadi di 15 Kabupaten maupun Kota di Jabar. Kasus itu tersebar di 28 sekolah di wilayah tersebut.
Wahyu tak menampik jika, kasus manipulasi data dilakukan peserta didik demi bisa masuk ke sekolah yang berstatus favorit.
“Kami temukan, di 28 sekolah itu memang ada di perkotaan dengan status sekolah unggulan atau favorit, tapi ada juga kasus tidak di sekolah unggulan, dan tidak di perkotaan, dan padahal tanpa manipulasi data pun bisa masuk, karena kuota masih tersedia,” ungkapnya. (Ratna KS)