Bogor, jurnalbicara.com
Pada lokakarya Isu Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan bagi Jurnalis Kristen (KBB) di hari kedua (9/8/22) yang digelar oleh PGI di Pondok Remaja PGI Jln. Raya Puncak KM 78, Cisarua, Bogor membahas berbagai jenis isu kebebasan beragama atau berkeyakinan yang tidak jauh berbeda pada hari pertama.
Namun sedikit berbeda dimana PGI menghadirkan narasumber dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK), Tantowi Anwar biasa dipanggil oleh para jurnalis, Bang Towi.
Tantowi Anwar, Pimpinan Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) menjelaskan, “sejak 7 juli 2022 peningkatan Intoleransi antar Umat Beragama mengalami peningkatan cukup tinggi, bahkan dimana terjadinya diskriminatif seperti pembritaan pengerusakan tempat-tempat ibadah, penutupan tempat ibadah bahkan pelarangan beribadah kepada suatu umat kepercayaan tertentu, yang di lakukan oleh golongan mayoritas terhadap golongan minoritas”, Ujarnya tegas.
Dalam kegiatan yang digelar PGI pada hari kedua ini, kegiatan lebih banyak berdiskusi antara narasumber dan peserta lokakarya.
Dengan fasilitator/ Narasumber yang menyampaikan berbagai contoh berita media yang bersifat clickbait dan terkesan memprovokasi.
Dampak dari pemberitaan yang bermodelkan seperti ini memiliki dampak yang sangat luas seperti pada pemberitaan Camp Gafatar Mempawah Kalbar, diantarnya, lebih dari 1120 orang mengalami stigma/bully, keguguran, diskriminatif, dan inafis (kriminal).
Juga melihat dari pemberitaan isu yang beredar bahwa Perang antara Budha dengan Islam adanya terjadi intimidasi, hate spin, hate speech, hate crime dan pelecehan, Hate spin merupakan “kebencian berbasis Agama dan tantangan bagi demokrasi”.
Dalam pemyampaian materi berkaitan dengan KBB hari kedua ini, Tantowi Anwar menyampaikan Peran dan tanggung jawab media untuk pemberitaan seharusnya memiliki dua peran diantaranya :
1. Peran edukasi (Konstruktif)
– bagian dari solusi,
– fact checking (era digital)
2. Peran advokasi (litigasi dan non litigasi) – watchdog
– fact checking (verifikasi era digital).
“Catatan bagi media adalah ketika terjadinya suatu diskriminatif terhadap suatu golongan, alangkah baiknya melakukan pemberitaan yang tidak memprovokasi” tegasnya.
Johan dari Pewarna Indonesia memberikan pendapat bahwa “Kalo kita perhatikan memang jurnalis penting untuk di edukasi, jika jurnalis tidak di edukasi justru malah bisa menjadi memprovokasi, dan itu segera disosialisasikan seluas-luasnya”, Ucapnya.
Tantowi menambahkan “Jurnalis bukan hanya memberitakan sebuah beritanya saja, tapi juga harus menggali informasi mengenai pelaku ataupun korban, Ucapnya ( 9/8/22).
Dalam sesi 1 hari ke dua, peserta sangat antusias dalam mengikuti kegiatan ini, terlihat dari sesi tanya jawab seperti :
Endharmoko, kita sebagai wartawan sudah diatur dalam UU PERS 40 1999, tugas dan kewajiban sudah tercantum di dalam aturan tersebut, kalo kita melihat dari hasil pemaparan sesi hari ini, dimana kita harus menempatkan KBB dalam pemberitaan ini?. Apakah KBB ini sudah masuk dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik ?.
Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Tantowi, bahwa “Dalam kode etik junalistik pasal 8 sudah tercantum bahwa “wartawan tidak menulis atau menyiarkan berita yang berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau jasmani”, Ujarnya.
Harapan kedepannya adalah bagi pengusaha media maupun jurnlist agar membuat judul-judul berita yang tidak clickbait yang dapat merugikan di masa mendatang bagi korban maupun media itu sendiri, akan tetapi berita tetap berkualitas. Margareth