Suryadi
Pemerhati Kepolisian dan Budaya
Di Hari Bhayangkara ke-76 tahun 2022,
tiga insan Bhayangkara, dianugerahi
“Hoegeng Award”. Mereka yakni seorang
bintara tinggi polisi wanita (Polwan) serta
masing-masing satu polisi laki-laki (Polki)
berpangkat jenderal bintang dua dan
bintang satu. Polri patut diacungi jempol.
Ini tergolong berani! Mengapa?
karena memikul nama Hoegeng
SANGAT mungkin saat ini sosok seperti Hoegeng, dalam versi lain, eksis di mana-mana. Penulis meyakini, sosok serupa (tidak sama) itu masih lebih banyak daripada tiga orang, lima orang, sepuluh orang, atau bahkan masih ratusan lagi jumlahnya. Mereka bertebaran di berbagai lapisan kepangkatan dan jabatan Polri.
Mungkin mereka diam-diam berbuat kebaikan. Boleh jadi, juga lantaran tak berani terang-terangan memperlihatkan diri di tengah kehidupan yang suka tidak suka kini lebih banyak menjebak ke dalam ukuran-ukuran bersifat materi. Meski, sikap tertutup seperti itu, sesungguhnya siap menggelincirkan orang jadi mendua, permisif, atau bisa saja oportunistik. Tujuannya, “kiri-kanan, atas – bawah” tidak memusuhi. Istilah populernya, “cari selamat” atau “main aman” sehingga tidak dipandang ekstrem alias “anti mainstream”. Namun, boleh jadi juga, alami apa adanya saja. Yang pasti, itu bukan prototipe Hoegeng yang diidolakan, seperti kerap diklaim Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Total sosok Hoegeng, memang tak mungkin berulang. Setidaknya, dalam “buku pintar sejarah”, tak ditemukan kosakata “sejarah berulang”, kecuali keserupaan pola kejadian suatu peristiwa. Itu pula sebabnya, terbuka ruang “memreteli” mahalnya sosok Hoegeng ke dalam kategori-kategori seperti pada penentuan penerima “Hoegeng Award”.
Sah-sah saja, misalnya, pada Hari Bhayangkara 2022, dibagi-bagi menjadi beberapa kategori. “Polisi Berdedikasi” dilekatkan pada Kepala Unit Pembinaan Masyarakat Polsek Muara Gembong, Bekasi, Aipda Rohimah; “Polisi Antisuap” pada Irjen Pol. Akhmad Wiyagus (Kapolda Gorontalo yang baru saja mengemban tugas sebagai Kapolda Lampung); dan anugerah “Polisi Inovatif” bagi Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Eko Rudi Sudarto. Ketiganya adalah pejabat Polri.
Sesuai kategorisasinya, pantaskah masing-masing mereka itu dianugerahi “Hoegeng Award”? Seperti ingin menukik pada jawaban substansial, Kapolri Sigit menyorongkan fakta, setidaknya ada 67.000 kandidat yang diusulkan masyarakat (Rachel, Kompas.com – 01/07/2022, 20:51). Artinya, untuk sampai pada kesimpulan “berdedikasi”, “antisuap”, dan “inovatif”, pasti bukan dengan serampangan. Ada sejumlah kriteria untuk itu.
Di balik angka “67.000 orang kandidat” itu, agaknya Kapolri ingin mengatakan, “Ketiganya terpilih secara selektif.” Meski, Kapolri Jenderal Sigit dalam sambutannya ketika penganugerahan “Hoegeng Award” tersebut (Jumat, 1/7/22), menggenapi pengakuannya, “Kami terus membuka diri untuk dikritik sehingga kemudian betul-betul bisa jadi Polri yang diharapkan masyarakat.”(Rachel, Kompas.com – 01/07/2022, 20:51 ).
Jenderal Sigit dilantik menjadi Kapolri oleh Presiden Joko Widodo tanggal 27 januari 2021. Indonesia dengan penduduk sekitar 270 juta jiwa lebih, merupakan negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia. Konon, jumlah anggota Polri terbanyak kelima di dunia, yaitu 579.000 personel. Rasio polisi dan penduduk yakni 222 petugas : 1.000 warga. Negara dengan jumlah polisi terbanyak di dunia (satu sampai lima), yakni India, Cina, Rusia, Amerika, dan Indonesia. Polri memiliki berbagai divisi, dengan beragam tugas utama yang mencakup menjaga keamanan dan ketertiban umum, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan serta pelayanan kepada masyarakat. (tacticalinpolice.com, Daftar Lima Negara Dengan Jumlah Polisi Terbanyak).
Selain itu, masih ada lagi, 44.000 pasukan paramiliter Polri. Mereka yang dinamakakan Brigade Mobil (Brimob) ini, dituntut selalu siap diterjunkan manakala gangguan keamanan dalam negeri dalam keadaan genting. Mulai dari huru-hara anarki sampai kepada gerakan separatis memisahkan diri dari NKRI, baik dalam artian kedaulatan maupun ideologi. Contohnya, Gerakan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso (Sulteng), dan Kelompok Kriminal Teroris Bersenjata (KKTB) di Papua.
Jumlah anggota Polri sebanyak itu setelah memerhitungkan pertambahan (rekruitmen) setiap tahunnya dari berbagai level kepangkatan, terbesar bintara plus tamtama khusus untuk Brimob. Jumlah tersebut, tentu, juga setelah ada pengurangan alami seperti pensiun dan meninggal dunia. Ada pula yang terkena pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) karena berbagai kasus pelanggaran, termasuk perbuatan tercela tergolong pidana.
Kapolri Sigit kerap memerintahkan antara lain, “Para pimpinan satuan segera memroses anggota yang melanggar aturan, baik itu berupa pemberhentian maupun proses pidana. Tindak tegas. Jadi, tolong jangan pakai lama. Segera copot, PTDH. Segera lakukan dan ini menjadi contoh bagi yang lainnya. Saya minta tidak ada Kepala Satuan Wilayah yang ragu. Bila ragu, saya ambil alih.” (cnnIndonesia.com, 19 Okt 2021 18:01 WIB). Jadi, bahwa terpilihnya tiga penerima “Hoegeng Award” dari 67.000 kandidat yang diusulkan masyarakat, sekilas dapat memberi pengertian dilakukan dengan sangat selektif.
*Tertib Sosial*
MASYARAKAT terdiri atas individu, yang kadang satu sama lain serupa maunya, namun pada lain kesempatan ditentukan oleh kepentingan lain. Ada kepentingan perorangan, ada pula kepentingan kelompok. Keduanya, dipengaruhi baik oleh egoisme maupun ambisi dan terjadi pada event yang berbeda-beda pula.
Dalam perkembangannya, boleh jadi, hal tersebut sesungguhnya berada dalam bingkai kepentingan pribadi, kelompok atas pengaruh pribadi, atau kelompok yang sungguh-sungguh bulat memang kelompok. Kerap diklisekan sebagai dinamis. Meski, di balik itu tak jarang kerap pula tersimpan “hiden agenda yang bercabang-cabang dan tak konsisten”, sementara langkah pencegahan jauh lebih baik daripada terlanjur menjadi eksplosif.
Apa pun, tentu ada parameternya, yaitu aturan baku yang sudah menjadi keputusan. Terbentuknya, oleh kristalisasi kepentingan umum tanpa mengorbankan jaminan perlindungan keamanan peribadi. Dalam hal keamanan, tertib hukum dan tertib sosial dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Di dalamnya, secara proporsional kepentingan individu dan kelompok, layaknya berada ada pada kesejalanan mencapai tujuan bersama.
Dapat dipastikan, tak kan pernah ada aturan yang mampu menyenangkan semua pihak. Mengingat, memang amat mustahil bahwa semua aturan pada levelnya, akan mampu mengakomodasi semua kepentingan beragam dari individu bangsa yang yang beragam pula.
Dalam sebuah Indonesia, negara yang telah memilih penentuan kehidupan hidup bersama (politik) dengan berdemokrasi, sudah selayaknya semua komponen mampu berlapang dada dan berjiwa besar, ketika harus tunduk pada keputusan (hukum) akhir. Tentu saja, keputusan (undang-undang/ UU) didasarkan atas mayoritas melalui prosesi penentuan yang mampu menyambangi tahap demi tahap diwarnai aspirasi demi aspirasi dari warganya. Inilah kualitas demokrasi.
Jadi, Polri dengan fungsi dan tugasnya di satu sisi dan masyarakat di lain sisi, selayaknya ditempatkan dalam satu figura bangsa. Polisi dan masyarakat ada dalam ruang proses demokrasi sehingga ketika suatu UU sudah diundangkan, semua harus lebih dulu tunduk sebelum menempuh upaya-upaya lain yang dibenarkan setelahnya.
Kritisasi tidak bisa dipahami bersitegak cuma pada maunya masing-masing individu atau profesi, yang berangkat dari egoisme UU terkait langsung dengan perlindungan atas diri masing-masing. Karena, rumah besar bernama Indonesia harus diselamatkan dengan tetap melindungi individu-individu di dalamnya. Antagonisme bukanlah kehendak hukum dalam berdemokrasi. Hal ini sangat penting dipahami, terutama di saat tiba “politik musiman”, seperti jelang, puncak, dan pasca Pemilu serentak.
Pentingnya merenungkan kembali, bahwa musyawarah merupakan kehidupan demokrasi khas bangsa Indonesia. Warna kentalnya, tak lain adalah gotong-royong yang mungkin kerap terasa begitu ringan dan sangat lipstis terlontar dari mulut banyak pejabat sebagai “sinergitas”.
Di situlah seharusnya bertemu kepentingan yang padu antara polisi dan masyarakat; Penegak hukum berangkat dari pribadi-pribadi yang berani hidup sederhana, jujur dan bersih dengan masyarakat yang senantiasa cinta dan rindu pada keteraturan akan tertib sosial.
Kondisi seperti itu hanya bisa tercipta, bila di satu sisi, polisi menjalankan tugasnya seperti kerap dipesankan Kapolri, “Tegas, berkeadilan, humanis, menjadikan penegakkan hukum sebagai langkah terakhir, represif”. Di lain sisi masyarakat memberikan kerja samanya untuk itu. Bukan semata untuk Polri, tetapi bagi keteraturan demi tertib sosial.
*“Total Hoegeng”*
MANUSIA biasa Hoegeng dikaruniai Tuhan keberanian hidup sebagai “sosok kaya” akan kesederhanaan hidup, jujur, dan bersih. Ini sudah menjadi paradigma hidup pribadi Hoegeng yang terbawa hingga ia menjalani profesi polisi. Cocok dianuti oleh setiap penegak hukum, terlebih di Indonesia yang entah kapan bisa melangkah dari posisi transisi reformasi (mental).
Dengan prinsip dan sikap nyata tak mau tawar-tawar terhadap apa pun yang bertentangan dengan (baca: melawan hukum), Hoegeng hidup melawan arus. Tetapi, ia tak pernah kesepian dari “kemewahan berkesenian”. Mungkin, itu yang membuat banyak orang seperti bermimpi: rupanya, masih ada manusia langka seperti dia!
Pada masanya, Hoegeng memang hidup di tengah “politik kekuasaan” yang selalu siap mengantarkan orang menggadaikan integritas. Jujur saja, keadaan serupa itu masih berlangsung sampai kini. Entah sampai kapan.
Kepentingan Profesi dan pribadi merupakan dua hal yang senyatanya masih selalu tarik menarik. Kerap membuat seseorang menjadi nisbi bersikap. Tetapi, sosok Hoegeng tetaplah Hoegeng. Didukung keluarga, ia sungguh-sungguh ada, bukan mimpi. Jika cerdas menghikmahinya, itulah hikmah bersejarah!
Hoegeng, bukan mahluk yang tak punya nafsu bersenang-senang. Ia polisi yang mampu mengompensasikannya (jika boleh dilihat demikian) kebahagiaan dengan lebih senang melukis dan bernyanyi ketimbang menggadaikan profesi. Indonesia butuh insan Bhayanghkara yang “cerdas melukis kebaikan” dan “mendendangkan hukum dipandu moral”, demi terjaminnya rasa aman masyarakat.
Sungguh, segerakan saja “Hoegeng Total” agar masyarakat berpikir 1.000 kali untuk membujuk, apalagi melawan hukum. Kecuali, anarki sudah berubah menjadi anarkisme yang mendominasi sifat dan perilaku dalam persentuhan antarmanusia. Mewatak!
Masyarakat bukan sekadar sumber dari sumber daya manusia (SDM) Polri, melainkan juga lingkungan tempat berkelindannya kehidupan beragam SDM. Patut diingat, apa pun bekal yang dibawa dari asal Pendidikan (lembaga profesi), keluarga dan masyarakat merupakan dua lingkungan yang amat berperan mendidik sesungguhnya. **