Oleh: Suryadi
Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)
Semua ada dalam rencana-Nya, kecuali perilaku manusia yang merugikan sesamanya. Jenderal Pol Drs. Hoegeng Iman Santoso, alumni Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) angkatan pertama menjadi Kapolri ke-5 (1968 – 1971).
Sementara Bapak Antropolgi Indonesia Prof. Koentjaraningrat di masa hidupnya sebagai antropolog mumpuni juga mengajar di PTIK jauh setelah Hoegeng lulus. Jika setiap anggota Polri berkhikmat menjalani profesi seperti keduanya menjalani profesi masing-masing, mungkin pada acara Hari Bhayangkara 2023 di Stadion Utama Senayan, Jakarta (Sabtu, 1 Juli 2023), tak akan Presiden Jokowi memperingatkan,
“….Tidak boleh ada lagi hubungan patron di internal institusi itu (Polri, pen).Transformasi juga diperlukan supaya kewenangan besar yang dimiliki Polri bisa digunakan untuk kepentingan masyarakat.”
KOENTJARANINGRAT menulis, di semua kebudayaan di dunia, baik dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil sekalipun maupun masyarakat kekotaan yang besar dan kompleks, terdapat unsur-unsur universal kebudayaan, yakni sistem-sistem: religi dan upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, selain juga bahasa dan kesenian, serta mata pencaharian, sistem teknologi dan peralatan (Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan 1984: 2).
Daerah Kebudayaan Jawa meliputi seluruh bagian tengah dan timur Pulau Jawa.
Sungguhpun demikian, tulis Kodiran dalam Kebudayaan Jawa, ada daerah-daerah yang secara kolektif disebut daerah Kejawen. Sebelum terjadi perubahan seperti sekarang ini, daerah itu meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan Kediri. Daerah di luar itu dinamakan Pesisir dan Ujung Timur.
Dua daerah bekas Kerajaan Mataram sebelum terpecah pada 1755, Yogyakarta dan Surakarta, merupakan pusat dari kebudayaan Jawa. Sudah barang tentu, di antara sekian banyak daerah tempat kediaman orang Jawa itu, terdapat berbagai variasi dan perbedaan-perbedaan yang bersifat lokal pada beberapa unsur kebudayaannya. Misalnya, perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek bahasa, dan lain-lain. Namun, variasi-variasi ini tidak besar, sehingga apabila diteliti masih menunjukkan satu pola kebudayaan ataupun satu sistem kebudayaan Jawa (Koen, “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”,1999: 329).
*Sederhana dan Berintegritas*
HOEGENG tiga tahun lebih dulu lahir daripada Koentjaraningarat (Pak Koen). Hoegeng lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1920. Ia meninggal di Jakarta 14 Juli 2004 atau tiga belas hari setelah Hari Bhayangkara 19 tahun silam. Pak Koen lahir di Sleman, Yogyakarta, 15 Juni 1923. Ia wafat 23 Maret 1999, lebih dulu lima tahun ketimbang Hoegeng
Hoegeng empat bulan lagi berusia 103 tahun, sedangkan Pak Koen baru pertengahan Juni 2023 diperingati oleh para muridnya genap 100 tahun. Genap seabad Pak Koen ditandai pesembahan buku Seabad Koentjaraningrat (SK) yang terbit diinisiasi oleh Mulyawan Karim, seorang jurnalis yang juga antropolog. Jika keduanya masih hidup, mereka pasti menyaksikan naik-turun tajamnya kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Tentu, mereka juga mencatat dengan baik “Peristiwa Duren Tiga” (PDT) dan “Penjualan Barang Bukti Narkoba” (PBBN), yang “karena nila setitik rusaklah susu sebelanga”. Masing-masing pada kedua peristiwa ini, “aktor utama”-nya jenderal polisi bintang dua dalam jabatan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (“polisinya polisi”) dan orang nomor satu di Kepolisian Daerah (Poda) Sumatera Barat.
Hoegeng dan Pak Koen adalah anak bangsa Indonesia dari suku Jawa. Mereka lahir di tengah budaya yang berbeda. Hoegeng lahir dan bertumbuh menjadi “remaja awal” di Pekalongan, pesisir Jawa Tengah, yang kebanyakan orang-orangnya lebih lugas dan praktis. Terutama dalam berkomunikasi dengan rekan setara. Sementara Pak Koen lahir dan bertumbuh hingga “remaja akhir” di Yogyakarta.
Akan tetapi, bila ditelusur lebih jauh ke belakang, ternyata keduanya berdarah bangsawan. Dari garis ayah yang jaksa di Pekalongan, kakek buyut Hoegeng seorang Adipati di lingkungan Keraton Mataram Yogyakarta, yaitu Kanjeng Pangeran Ario Poerbo Mendoero, seperti terungkap dalam”Hoegeng Polisi Idaman dan Kenyataan” (HPIK) (Yusra dan Ramadhan,1994: 31). Sementara kakek buyut Pak Koen, yakni KGPAA Pakualam VI, diungkap Purbowinoto dalam “Cucu Bupati yang Dipecat Belanda” (Frieda dkk (ed).”SK”, 2023: 199).
Toh keduanya tetap pribadi yang rendah hati, terbuka, dan sederhana bukan sekadar gaya. Mereka jauh dari hidup mengutamakan kesenangan (hedonis), seperti kini kerap dihebohkan publik tentang gaya hidup sejumlah pejabat dan keluarganya, termasuk di Polri.
Keduanya berintegritas menjalani profesi dan senang langsung kepada pemecahan masalah yang dihadapi. Baik Hoegeng maupun Pak Koen, satu lagi, tak pernah terbetik kabar tentang mereka “memelihara” klik-klikan di lingkungan kerjanya, apalagi “membiakkan” Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Misalnya, untuk pak Koen, tak pernah terdengar kabar ia murahan memberi nilai, namun selalu mendukung kelanjutan studi mahasiswanya, dengan cara mencarikan sekolahnya di Belanda.
Teguh Bersikap
TAK seperti bhayangkara, perwira pertama (pama), dan perwira menengah (pamen) bawahan terhadap kedua jenderal dalam PDT dan PBBN, Hoegeng dan Pak Koen justru teguh bersikap saat berhadap-hadapan dengan penguasa otoriter di zaman Orde Baru (Orba).
Sehari sebelum dilantik menjadi Kapolri, ceritanya, Hoegeng didampingi calon Wakapolri, Teuku Abdul Azis (Mei 1968) menghadap Presiden ke-2 RI, Soeharto untuk di-brief. Penguasa tunggal era Orba itu meminta, agar polisi konsentrasi pada tugasnya sebagai polisi, jangan lagi mikir tugas Angkatan, perang-perangan. Hoegeng kemudian bersitegas menyambut, “Baik, Pak Harto. Tapi saya juga meminta agar Angkatan-angkatan lain tidak mencampuri soal-soal kepolisian” (Yusra dan Ramadhan, 1994: 30).
Bahkan, di zaman Presiden I RI Soekarno (BK), sebagai Kepala Djawatan Imigrasi (kini Dirjen Imigrasi), Hoegeng (- ) pernah membuat gigit jari seorang pengusaha besar (+), yang datang kepadanya mengaku “anak emas” BK minta diberi Paspor Diplomatik (PD). Hoegeng tahu, penerbitan PD harus dimintakan melalui rekomendasi Departemen Luar Negeri (kini Kemenlu). Karena si pengusaha merasa di “atas angin”, situasi berlanjut memanas:
+Tapi pihak Imigrasi kan bisa mengeluarkan kalau mau
– Tak ada klausul hukum yang memberikan kewenangan demikian
+ Begini saja, kita sesama manusia bantu-membantu saja! ….Apa bantuan yang bisa saya berikan buat saudara? katakan saja kepada saya, berapa biaya rumah dan keluarga yang saudara perlukan setiap bulan! berapa ratus ribu sebulan?
– (sebelum si pengusaha benar-benar menyadari dengan siapa ia berhadapan, Hoegeng naik pitam) Saudara lihat, itu pintu! Jadi saudara tinggal pilih, keluar baik-baik atau saya tendang ke luar pintu itu! Persetan uang kamu itu!
Sebelum peristiwa itu, diketahui, bersama sejumlah pengusaha si pengusaha tersebut pernah dikumpulkan oleh BK untuk membiayai perang (konfrontasi) dengan Malaysia. Ketika itu dia kontan menyumbang Rp50 juta, meski tidak cash. Untuk mencarikan sumbangan dana itu, ia malah minta berbagai fasilitas, antara lain monopoli perdagangan karet di Pulau Sumatera. Bung Karno antusias terhadap sikapnya yang “revolusioner” mau menyumbang besar untuk revolusi yang belum selesai!….(Yusra dan Ramadhan, 1993: 255).
Di masa Orde Baru, demikian kesaksian James Fox, guru besar Australian National University (ANU), ada cerita serupa tentang Pak Koen. Momennya, tak lama setelah terbunuhnya Arnold Ap, antropolog dan kurator Museum Cendrawasih. Pak Koen mengundangnya menghadiri seminar tertutup mengenai Irian Jaya. Seminar dipimpin oleh seorang perwira tinggi militer.
Saat itu Pak Koen lebih banyak diam. Tetapi pada sesi akhir, kata Fox, dengan tenang dan halus Pak Koen berbicara langsung kepada pemimpin diskusi. Ia mengecam tindakan-tindakan militer (tak digambarkan macam apa, pen) sebagai hal yang secara moral tidak benar, patut dikecam secara sosial dan merupakan kebodohan strategis. Pak Koen berbicara dengan jelas, dengan tegas penuh wewenang.
Setelah selesai, perwira yang mengepalai pertemuan itu diam saja dan menutup seminar. “Pak Koen telah mengungkapkan pandangannya sebagai tuduhan yang mengena,” kata Fox (Frieda dkk (ed), 2023: 208).
*Modal Kejujuran*
HOEGENG dan Pak Koen, masing-masing adalah seorang polisi dan dosen. Mereka jujur, penuh integritas menjalani profesi. Bermodalkan kapasitas mumpuni dan kejujuran yang dipicu oleh keberanian dan teguh pada prinsip, terbangunlah integritas profesi.
Kalau bukan karena kapasitas, mustahil Pak Hoegeng jadi Kapolri dan Pak Koen menjadi Bapak Antropologi Indonesia yang amat dihormati di Tanah Air dan di berbagai negarai Asia, Australia, Eropa, Amerika.
Dengan kejujuran, Hoegeng berani menundukkan ke-Kapolri-annya sendiri. Ia turun langsung mengatur lalu-lintas atau persiapan upacara di kantornya. Ia tak memperkenankan sang istri menjadi Ketua Bhayangkari di saat para istri pejabat kala itu memimpin organisasi istri-istri di instansi suaminya. Ia juga tak memerkenankan istrinya berjalan di sampingnya saat ia mengenakan pakaian dinas. Kemana-mana menyetir sendiri. Dengan alasan bahwa yang Kapolri itu Hoegeng, anak-anaknya dilarang minta-minta tolong (apalagi menyuruh) bawahannya. Rumahnya tanpa gardu jaga, agar dapat selalu dekat dengan masyarakat.
Dengan sengaja mengulur-ulur waktu, Hoegeng tak berkenan mengeluarkan surat izin orangtua untuk putranya mendaftar taruna AURI. Alasannya, saat itu dia Kapolri. Oleh karena itu, menurutnya, pasti panitia akan memandang jabatannya.
Karena kecintaannya pada Korps Bhayangkara, saat setelah pensiun, ia bersurat ke Kapolri bahwa ada kemewahan yang mencurigakan pada pejabat di lingkungan Mabes Polri, seperti dalam“Hoegeng di Tengah Perilaku Koruptif Pemimpin Bangsa” (Santoso, 2009: 292 – 293).
Ujung-ujungnya di tahun 1977 itu, betul terungkap, seorang perwira tinggi bintang dua dan bintang satu, serta dua perwira menengah korupsi. Pengadilan militer menghukum mereka bersalah. “Uang yang diselewengkan dari bidang pengadaan barang Polri, tertulis dalam “Biografi Widodo Budidarmo, Semua Karena Kuasa & Kasihnya” (Hasibuan (ed), 2004: 128 – 130).
Cerita-cerita sesungguhnya itu, cuma beberapa di antara banyak “Karya berkat Kejujuran” yang monumental dari Kapolri ke-5 Hoegeng, sehingga sejak 2022 Polri mengadakan “Hoegeng Awrad” kepada anggotanya yang dinominasikan berdasarkan pilihan rakyat. Semua itu menghantarkan Hoegeng hidup tidak neko-neko, tetap sederhana.
Bahkan, saat harus memilih pensiun jelang “usia tak seharusnya pensiun” (50 tahun) ketimbang didubeskan, ia dan keluarga yang memang tak pernah tinggal di rumah dinas, tetap menghuni rumah kontrakan di Jalan M. Yamin No. 8 Jakarta. Rumah itu, seperti pengakuan penggantinya, M. Hasan, kemudian diberikan kepada Hoegeng. Tetapi Hoegeng baru mau menerimanya setelah Hasan membuktikan bahwa Polri telah lebih dulu membelinya. Rumah ini kemudian dijual dan dibangunkan sebuah rumah di Pesona Kayangan, Depok, Jabar (konon, kini tengah di renovasi menjadi “Museum Hoegeng”).
Teringat akan sosok Pak Koen ketika mendapati banyak angota Polri di berbagai daerah di Tanah Air, melakukan kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, “Jumat Barokah”; polisi mengajar di SD-SD yang keterbatasan tenaga guru atau yang mengajar mengaji; tak sedikit pula yang sengaja menyisihkan uang gajinya untuk membangun pesantren sekaligus menjadi pengasuh di situ.
Polisi-polisi yang bergiat berkelindan dengan masyarakat atau tepatnya mendekati masyarakat melalui tugas-tugas non penegakkan hukum itu, rasanya tak berlebihan bila dikatakan mendekati dengan yang pernah disampaikan Pak Koen kepada para muridnya di belasan jurusan antropologi yang ia dirikan di sejumlah univrsitas di Tanah Air.
*Masyarakat*
MASYARAKAT manusia adalah sekumpulan individu yang hidup bersama, bekerja sama untuk memperoleh kepentingan bersama yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, dan adat istiadat yang ditaati dalam lingkungannya. Sebagai alat negara, sebagaimana UU No. 2 tahun 2002, Polisi berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan.
Manusia dalam hubungannya dengan sesama membentuk masyarakat. Sementara antropologi, secara sederhana, dapat dikatakan merupakan ilmu yang memelajari segala macam seluk beluk, unsur-unsur, kebudayaan yang dihasilkan dalam kehidupan manusia.
Bagi Pak Koen, antropologi, sebagaimana sejarah asal-usulnya, adalah ilmu yang bersifat terapan. Artinya, ilmu antropologi digunakan untuk menganalisis dan mencari solusi dari masalah konkret. “…penyelesaian masalah negara dan kebangsaan ini terlihat jelas dalam berbagai karya tulisnya. …”, tulis R. Yando Zakaria dalam “Mencegat Pak Koen di Taman Sastra” (Frieda dkk (ed), 2023: 189).
Pak Koen semasa hidup selalu tampil sederhana dengan kemeja putih lengan pendeknya saat mengajar. Ia bermula mengajar SMA, kemudian menjadi guru besar antropologi yang juga mengajar di PTIK pada zamannya. Kapolri ke-5 Hoegeng adalah alumni pertama PTIK, yang tetap sederhana dan baru mau dituliskan nama lengkapnya Hoegeng Iman Santoso di batu nisannya.
Tentang klik-klikan yang dilontarkan Presiden Jokowi, rasanya, akan terjawab bila para Bhayangkara berpikir idealis-pragmatis dan hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat yang masih cenderung meniru atau sebaliknya mencemooh. Tetapi tentu, Bhayangkara yang ahli di bidangnya.
Tinggal lagi institusi Polri berbenah ke dalam termasuk memerhatikan kelanjutan karir para anggotanya. Sehingga, mereka jauh dari apatisme, kemudian mencari pelarian di luar profesi demi “dapur tetap ngebul” atau untuk modal kasak-kusuk mencari dukungan demi peningkatan karir. Itu dampakya tidak sederhana lho! **
–oo00oo–