Jakarta, jurnalkotatoday.com
Berpulangnya, Prof. Dr. Azyumardi Azra terasa begitu cepat dan belum sempat banyak membenahi Dewan Pers yang baru beberapa bulan ia pimpin.
“Ini kehilangan besar. Almarhum bukan cuma seorang guru besar sejarah Islam dan mantan rektor, tapi dia cendekiawan yang diharapkan mampu memberi kontribusi pada pemahaman demokrasi pada pers di era reformasi yang amat bebas ini,” kata Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL), Suryadi, M.Si di Jakarta, Ahad (18/9/22).
Almarhum, lanjutnya, adalah perpaduan sosok cendekiawan dengan sosok yang amat paham tentang pers, karena memang pernah menjadi wartawan.
Sesuai pengakuan almarhum kepada Suryadi, mantan Redpel Majalah Hukum dan Politik “Interview” (1999 – 2021), sampai awal-awal tahun 1980-an ia pernah bekerja sebagai jurnalis Majalah “Panji Masyarakat”. Di media yang sama, Suryadi juga kerap menulis di tahun 1980-an.
“Kebetulan saya mewawancarainya. Waktu dia Wakil Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,” kata Suryadi.
Penulis sejumlah banyak buku tersebut, saat itu mengaku, “Saya bersyukur pernah bekerja sebagai jurnalis (“Panjimas) yang membuat saya mudah dan lancar menulis. Jadi banyak buku saya”.
Salah satu buku kumpulan tulisannya yang tersebar di banyak media, yaitu “Islam Substantif” terbitan Mizan tahun 2000.
Buku yang dieditori Idris Taha setebal 440 halaman itu memuat sedikitnya 95 hasil wawancara jurnalis dengannya di berbagai media cetak.
“Senada dengan judul buku tersebut, satu di antara hasil wawancara reporter kami (Nurkomaruddin) berjudul “Indonesia tak Mungkin Menjadi Negara Islam,” kata Redpel majalah yang diterbitkan oleh Yayasan Barata Bhakti melaui PT. Bhakti Rastra Raharja itu.
Menurut Suryadi, yang Pemred Majalah Hukum dan Politik “Interview PLUS” (2013 – 2014) itu, pengakuan Azyumardi itu terbukti dengan banyaknya buku karya almarhum dan hasil wawancara dengannya yang dipublikasikan media secara tanya-jawab
Mengingat pengakuannya itu, maka ketika beberapa bulan lalu dia terpilih menjadi Ketua Dewan Pers, Suryadi sangat berharap akan banyak hal yang bisa dia perbuat dalam menjernihkan pers Indonesia di era kebebasan yang ditandai beragamnya media pers dan sangat banyaknya jumlah jurnalis dewasa ini.
Almarhum, kata Suryadi, cukup punya modal untuk berbuat seperti itu, antara lain:
1. Dia cendekiawan yang jernih dalam memandang berbagai persoalan yang muncul lantaran cuma terhenti pada interpretasi belaka.
2. Memahami dunia kewartawanan karena memang pernah menjadi jurnalis.
3. Sikapnya yang inklusif sangat tepat pada posisi jurnalis/ pers yang diurusinya.
4. Terampil menulis dengan gaya jurnalistik sehingga tulisannya yang berbobot akademik pun menjadi mudah dicerna publik insan nonkampus.
Akan tetapi, kata Suryadi, Tuhan berkehendak lain dan lebih cinta kepada almarhum ketimbang siapapun di dunia ini.
“Alamarhum pergi dengan meninggalkan banyak karya yang bermanfaat untuk suatu Indonesia yang plural damai, dan inklusif,” kata Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Azyumardi, tenanglah kau di haribaan ilahi. Red