Jakarta, jurnalkota.id
Gas elpiji 3 kilogram yang diperuntukkan untuk kelompok miskin hingga hari ini masih banyak digunakan oleh kelompok masyarakat mampu. Akibatnya, kuota gas elpiji 3 kg sering habis di tengah jalan, hingga akhirnya terjadi kelangkaan dan menyebabkan kelompok yang berhak dirugikan.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, kelangkaan gas elpiji ukuran 3 kg ini sudah menjadi permasalahan klasik yang selalu timbul setiap tahun. “Hal ni terjadi karena gas melon yang notabene menjadi hak masyarakat miskin justru digunakan kelompok masyarakat mampu,” kata Mamit kepada wartawan di Jakarta, Selasa (05/8).
Seharusnya, kata dia, masyarakat mampu tidak mengambil apa yang menjadi hak masyarakat miskin. “Biasanya, kelangkaan akibat tidak adanya pembatasan distribusi. Masyarakat mampu masih banyak yang kedapatan menggunakan elpiji ukuran 3 kilogram,” ujarnya.
“Ini juga terjadi karena disparitas harga dengan elpiji nonsubsidi yang masih besar. Apalagi disaat banyak kegiatan di rumah seperti saat ini, kebutuhan penggunaan LPG mengalami peningkatan,” tambah Mamit.
Ia berharap, kelompok masyarakat mampu tidak menggunakan gas elpiji 3 kilogram karena merugikan kelompok masyarakat lain serta para pedagang kecil yang memang lebih berhak mendapatkan gas elpiji 3 kilogram. “Sebab jika masyarakat mampu masih bandel menggunakan gas elpiji 3 kilogram, bisa dipastikan kuota yang ditetapkan oleh BPH Migas akan jebol dan ujung-ujungnya justru memberatkan Pertamina dan keuangan negara,” tukasnya.
“Setiap kali over, maka ini menjadi tanggungan Pertamina. Padahal ketika kuota jebol dan terpaksa ditambah oleh Pertamina, belum tentu diganti pemerintah karena masih perlu dihitung selisihnya dan tergantung audit BPK,” tambah Mamit.
Namun ia berharap masyarakat tidak panik karena Pertamina juga selalu bergerak cepat jika terjadi kelangkaan. Meski begitu, ia mendorong masyarakat untuk beralih ke produk-produk gas lain milik Pertamina terutama nonsubsidi.
“Saya kira Pertamina pasti sigap dengan menambah pasokan dan melakukan operasi pasar untuk daerah yang terjadi kelangkaan sampai kondisi normal kembali. Pertamina juga akan terus memastikan ketersediaan produk di agen dan pangkalan LPG, sebagai penyalur resmi Pertamina,” paparnya.
Mamit juga mengimbau agar Pertamina bisa memanfaatkan agen sebagai penyalur resmi saat mengadakan operasi pasar. ”Agen pasti punya gudang, jadi operasi pasar yang dilakukan oleh Pertamina bisa dilakukan di gudang-gudang milik agen. Batasi 1 orang hanya berhak dengan 1 tabung LPG 3 kilogram, bahkan jika bisa mereka menunjukan KTP agar tidak dobel-dobel dalam 1 kepala keluarga,” tukasnya.
Lebih jauh ia menyebutkan bahwa jika beban subsidi naik terus, maka hal itu akan menyebabkan beban keuangan negara terganggu. Apalagi, ditambah saat ini 70% elpiji masih impor. Jika subsidi terus, defisit transaksi berjalan akan makin tinggi.
”Perlu ada kebijakan dalam mengendalikan elpiji 3 kg yang salah satunya adalah dengan distribusi tertutup. Ini lebih jelas asalkan datanya benar sehingga tepat sasaran dan jangan sampai ada kesalahan data. Salah satu kelemahan kita adalah akurasi data,” pungkas Mamit.(Sya)