Suryadi
Pemerhati Budaya dan Kepolisian
Sejarah tidak hanya bicara masa lalu, tetapi juga tentang waktu. Pada waktu tersebut tercatat kejadian-kejadian .dan pengalaman-pengalaman mahal yang pantas dipetik. Dengan sejarah diharapkan orang menjadi bijaksana. (lihat Prof. Kuntowijoyo, Yogyakarta, 1995: 14).
Permaknaannya, bahwa perbuatan seseorang selain berdampak pada si pelaku sendiri, juga mungkin akan sangat terkait erat dengan keteladanan. Lebih-lebih lagi, bila pelakunya politisi, birokrat, pemuka agama, atau
pemuka masyarakat, yang layak dipanuti. Bukankah begitu, apalagi di negeri yang patrimonial?.
Di tengah gema yang luar biasa omong Pemerintah untuk. jalankan pemerintahan dengan bersih, sangat bagus jika .institusi Polri berikut segenap satuan-satuan kerjanya, berinisiatif
meneliti “Pak Ogah”, “ankamsi” (anak kampung sini), dan “pemalak jalanan”. Seperti diketahui, hal serupa terjadi bukan sekali dua kali saja, tetapi sudah kronis. Sampai- sampai, boleh jadi, menimbulkan kesan adanya pembiaran
kalau bukan seperti terpelihara.
Untuk objektivitas dan kenetralan penelitian, masih.perlu melibatkan kejujuran perguruan tinggi. Juga, dukungan konkret dari masyarakat, pemuka agama,.pemuka masyarakat, Rukun Warga (RW), dan Rukun Tetangga (RT) yang daerahnya rawan “Pak Ogah”.
Bila penelitian serupa ini dilakukan, hendaklah lebih .massif dan mencakup banyak daerah. Hasilnya, jangan “cuma jadi pajangan”, tetapi wajib secara konkret segera ditindaklanjuti.
Ke depan, bukan mustahil masyarakat luas mencatatnya. sebagai langkah ilmiah sekaligus sejarah sosial dalam kerangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat
(harkamtibmas). Tentu saja, bukan untuk bangga-bangga masa masa lalu, sehingga “sejarah cuma milik penguasa” tak terulang.
PAK Ogah”, maksudnya, orang-orang yang kerap beroperasi di jalan-jalan alternatif atau lorong-lorong sempit yang cuma layak dilewati searah satu kendaraan bermotor roda empat kecil (mobil). Sebenarnya, mereka sudah lama dikenal di negeri ini, “menjual jasa” dengan memerlancar arus lalu-lintas (lalin) mobil di jalan alternatif atau lorong-lorong sempit yang mereka “kuasai”.
Setingkat di atas “Pak Ogah”, ada lagi. Lebih parahnya, mereka tanpa tedeng aling-aling langsung berperilaku kriminial. Mereka meminta uang dengan paksa alias memalak awak pengemudi truck-truck pengangkut barang yang melintas di jalan-jalan yang mereka “kuasai” tanpa hak.
Ada pula yang melakukan hal serupa terhadap pekerja yang memerbaiki jaringan listrik atau yang akan merenovasi di suatu kawasan perumahan. Di suatu daerah, para pemalak ada yang mengaku-aku “ankamsi” (“anak kampung sini”, maksudnya anak kampung setempat) seraya menyebut diri sebagai anggota Ormas tertentu. Entah benar entah tidak, hingga kini belum terdengar ada Ormas yang mengeluh diatasnamakan oleh “ankamsi”.
*Menjadi Kriminal*
SEJUMLAH pemberitaan media mengabarkan hal serupa itu. Misalnya, jelang Natal 2024, terjadi pemukulan seorang pemobil oleh “Pak Ogah”. Ini terjadi hari Minggu, 22 Desember 2024, di kawasan Puncak di tanjakan Cihanjawar, Desa Sukagalih, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Jabar).
Saat itu, lalu-lintas (lalin) memang dipadati oleh mereka yang akan berlibur. Banyak dari para pemobil yang memilih jalan alternatif yang umumnya melintasi jalan-jalan curam di perkampungan.
Atas kejadian itu, ia mengadu ke Kepolisian Sektor (Polsek) Megamendung. Bahkan, ia sempat mengedarkan kejadian yang menimpanya itu di media sosial (memviralkan). Tidak diungkapkan apakah ia dipalak.
Pengakuan si pemobil begini. Ia sengaja “memotong” sebuah kendaraan yang mogok tepat di depannya. Saat memotong, mobil yang dikemudikannya menyerempet mobil yang mogok, sementara kaca spionnya menyenggol salah seorang “Pak Ogah” yang tengah beraksi.
Merasa bertanggungjawab, ia setop dan turun menghampiri mobil yang terserempet mobilnya. Ketika itulah, seorang laki-laki menghampirinya seraya marah-marah karena tersenggol oleh mobilnya. Terjadilah perang mulut dan berlanjut ke pemukulan atas dirinya.
Istrinya yang tengah hamil tinggal di mobil. Tak disebutkan berapa usia kandungannya. Kemudian, istrinya sontak turun ketika ada laki-laki lain mengetuk keras kaca jendela mobilnya. Dia memertanyakan mengapa kaca mobilnya diketuk keras-keras. Perang mulut tak terhindarkan dan ia pun dipukuli.
Kejadian itu sempat dimediasi polisi. Namun, setelah mengetahui diagnosa dokter bahwa istrinya potensial keguguran, si pemobil menyatakan akan melanjutkan laporannya. “Jadi, berubah pikiran untuk mediasi dan ingin melanjutkan membuat laporan,” kata Kasatreskrim Polres Bogor, AKP Teguh Kumara, Kamis, 26 Desember 2024 (detik.com, 26/12/24, jam 10:55).
Contoh peristiwa lain di salah satu belahan Kota Depok, Jabar (berdekatan dengan Jakarta Selatan). Sejumlah laki-laki remaja dan dewasa mengatur lalu lintas (lalin) di lorong sempit. Setiap hari hampir di sepanjang waktu, lorong ini dijadikan alternatif oleh para pemobil dari dua arah, untuk menghindari kemacetan di jalan utama (tentang kemacetan di jalan utama ini, sempat menjadi materi kampanye serius salah seorang calon Wali Kota Depok yang berjanji mampu mengatas kemacetan). Bahkan, mobil-mobil yang melintas dari dua arah lewat di lorong itu, tak jarang yang berukuran pas-pasan dengan lorong itu.
Di lorong sempit itu, terdapat tikungan tajam. Kondisi ini dimanfaatkan oleh sejumlah “Pak Ogah” untuk “menjual jasa” dengan cara mengatur mobil yang datang dari dua arah. Tak jarang para pemobil sambil menujukkan kekesalan –karena kemacetan malah sering menjadi-jad– melempar uang recehan, Rp500 sampai Rp2.000, kepada para “Pak Ogah”.
Para “Pak Ogah” itu sering dikeluhkan para pemobil, karena jumlahnya sampai enam orang menyebar di kedua mulut lorong arah berlawanan dan di tikungan. Paling tidak ada ada dua orang di tiga lokasi. Di setiap lokasi mereka terpaksa melempar uang receh. Padahal, tak jauh dari situ ada jalan alternatif lain yang lebih besar, yang sebenarnya bisa dimanfaatkan agar lorong sempit ini bisa dibuat searah bagi mobil kecil saja.
Fenomena serupa terjadi pula dengan yang menyebut dirinya “ankamsi”. Di suatu perumahan, misalnya, mereka meminta uang kepada tukang atau pemilik rumah yang terlihat mengangkut bahan-bahan bangunan untuk merenovasi. Tak jarang pula, hal serupa dialami oleh pekerja yang datang menggunakan mobil operasional untuk memerbaiki jaringan listrik.
“Saya alergi dan malu dengan perbuatan mereka yang mengaku “ankamsi” itu. Bikin malu kampung sendiri. Pemalas! Apalagi, cari untung di kesempitan lorong kecil itu,” kata seorang pengemudi gojek (sepeda motor yang ditaksikan) yang kerap ditumpangi penulis menuju Stasiun KRL Citayam, Depok, suatu ketika.
Seorang pekerja survei untuk iklan “out door” (luar ruang) di Ibu Kota sebuah provinsi ujung selatan Pulau Jawa, mengaku juga ditakut-takuti oleh sejumlah laki-laki. Ia yang tengah meninjau titik-titik untuk penempatan iklan luar ruang, dihampiri sejumlah laki-laki. Sambil mengaku “penguasa” lokasi tersebut, oleh laki-laki seram itu ia dimintai sejumlah uang yang disebut sebagai “uang keamanan”. Besarnya cukup memberatkan, padahal kantornya tak mangalokasikan biaya tersebut.
Ternyata hal-hal serupa itu sudah sejak lama terjadi. Misalnya, yang dialami sopir-sopir truck yang sering melintas di jalan lintas utama Sumatera (Jalinsum), Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan (Sumsel).
Terungkap November 2023 dari Pengadilan Negeri (PN) Muaraenim yang mengadili dua pemalak. Dalam aksi malam hari, kedua terdakwa dengan paksa minta uang kepada sopir-sopir truk di dua lokasi yang berbeda.
Naas, saat beraksi di atas jam 22.00 WIB mereka tertangkap tangan oleh pihak Polres Muaraenim. Polisi memang sengaja melakukan pengintaian setelah menerima keluhan dari sejumlah sopir truck.
Seperti terungkap di PN Muaraenim, pertama terjadi di Desa Padukaraksa, Kecamatan Tanjungagung. Kedua, di Desa Lambur, Kecamatan Panangenim. Oleh PN, kedua terdakwa, Sgt (32) dan DS (27) yang diadili secara terpisah, divonis oleh PN satu bulan dan 1,5 bulan (detik.com, 10/10/23, 12:04).
Hal yang serupa itu, mungkin saja tidak merata ditemukan di berbagai wilayah di Tanah Air –terutama tidak ditemukan di daerah-daerah yang masih besar toleransi atas sesama dengan kekhasan gotong-royong di masing-masing daerah.
Akan tetapi, seorang pemuka masyarakat di provinsi yang tergolong miskin pendapatan masyarakat desanya (Nusa Tenggara Timur, NTT) mengaku, pernah melihat aksi “Pak Ogah” beroperasi di wilayah tersebut. Menurut laki-laki yang tak mau disebutkan namanya ini, fenomena “Pak Ogah” ia dapati di sejumlah lokasi dari dua wiayah kabupaten yang lokasinya berdekatan dengan negara tetangga Timor Leste.
*Mengukur Sejahtera*
JUMLAH penduduk Indonesia pada 2024 diperkirakan berjumlah 281.603.800 orang atau nomor empat terbanyak di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, perkiraan ini berdasarkan laporan Hasil Proyeksi Penduduk Indonesia 2020 – 2050 (detikcom, Selasa, 25 Jun 2024 08:30 WIB).
Sementara Bank Dunia menetapkan mereka yang dapat dikatakan absolut miskin adalah yang berpendapatan di bawah $1/ hari, sedangkan mereka yang berpendapatan di bawah $2/ hari digolongkan miskin.
Jika perkiraan BPS Indonesia kini berpenduduk 281.603.800 orang tersebar di daerah-daerah yang rawan “Pak Ogah” alias “ankamsi” alias “pemalak jalanan”, maka di dalamnya termasuk “Pak Ogah”, “ankamsi”, dan si “pemalak jalanan”. Penulis menduga, mereka ini merupakan rakyat jelata yang tergolong absolut miskin atau setidaknya miskin.
Bila ternyata mereka adalah orang-orang yang tergolong berpunya, maka kian lengkap absolut miskin atau miskin di negeri ini. Lengkap, karena di antara mereka ini, adalah bukan hanya yang tergolong miskin harta, miskin pikir, miskin nurani, atau paduan ketiganya, tetapi masih plus pemalas. Komplit!
Asumsi tersebut, mungkin layak dibandingkan dengan mereka yang dijuluki “penjahat berdasi”, seperti para koruptor dan mereka yang menyokong terciptanya ekosistem korup. Bukan rahasia lagi, mereka yang tergolong penjahat berdasi, adalah orang-orang berduit yang berada pada posisi bagus dan punya akses untuk terjadinya korupsi atau merugikan keuangan negara dengan cara mudah sambil “tutup mata”.
Pada sisi lain, harus diakui masyarakat sering mendengar, bahwa untuk sejahtera atau mencapai kesejahteraan yang bagus (belum tentu berkualitas), selalu didekati dengan upaya-upaya meningkatkan yang sangat “hartais, uangis”, dan pragmatis. Artinya, di antara faktor-faktor yang lain, pertimbangan materi ditempatkan pada posisi sangat determinan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Bukan mustahil, yang demikian itu ditangkap oleh mereka yang tergolong plus tadi, sebagai sah-sah saja. Kalau ketahuan? Ya sebisa mungkin tetap diusahakan mengelak untuk lari dari tanggung jawab. Kalau tak bisa juga, baru lah tertangkap berbuat kriminal. Kemudian, semua pihak bersilepas tangan, minimal beralasan tak terlibat menyokong terbangunnya kriminal itu. Walau, bila diurut-urut faktanya bisa dikatakan tutup mata alias membiarkan kriminal itu terjadi.
Bahwa kemudian memunculkan kerawanan sosial dan berbuah tindak kriminal, seperti aksi rutin “Pak Ogah”, “ankamsi”, dan “pemalak jalanan”, bagi mereka hal itu adalah soal nanti. Toh tak ada pelarangan. Bukankah aksi serupa itu sudah kronis, setidaknya di sejumlah daerah yang memungkinkan mereka beraksi.
Bagi penegak hukum seperti Polri yang sehari-hari ada dalam kehidupan masyarakat, agar hal tersebut tidak sampai meletupkan keresahan masyarakat, tampaknya bagus bila berinsiatif melanjutkannya dengan penelitian. Bukankah Polri –seharusnya– mengutamakan langkah-langkah mencegah terbangunnya potensi kriminal dan terjadinya kriminal (peremtif dan preventif)?
Tentu saja, penelitian hendaklah dengan melibatkan kalangan yang mampu mendekatinya secara objektif dan terjamin kenetralannya. Objektif dan netral tak sekadar prosedural dan metodologis, tapi seriilnya. Sebut saja, itu perguruan tinggi. Pelibatan potensi masyarakat di daerah-daerah rawan “Pak Ogah”, “ankamsi” atau “pemalak jalanan” merupakan keharusan demi terciptanya harkamtibmas.
Untuk itu penelitian hendaklah menyentuh hal yang sangat mendasar. Ini sejalan dengan tekad menemukan penyebab terjadinya kriminal seperti contoh-contoh di atas. Sekaligus pula, solusi-solusi efektif yang harus diambil dalam mengemban fungsi dan kewenangan pemelihara kamtimbmas, pelindung dan pengayom masyarakat, dan penegak hukum.
Sebaik-baik hasil penelitian yang bermanfaat, adalah yang ditindaklanjuti dengan penanganan lapangan agar hasil penelitian tak menjadi “barang mati” yang teronggok di lemari. Bukankah untuk tujuan menemukan solusi, menghabiskan biaya tak sedikit dari kocek negara?
Jadi, setelah pelaksanaan atas hasil penelitian, tak ada alasan yang sekadar menyatakan penelitian “sudah prosedural metodologis” atau sekadar formalitas belaka. Dengan demikian, terhapus “metode taktis pegelakkan”. Yang kemudian muncul “sangat bertanggungjawab atas terjadinya gangguan kamtibmas”. Dimunculkan atau tidak dimunculkan, dengan begitu, sejarah sosial telah ditorehkan oleh Polri, sebagai institusi yang paling bertanggungjawab melindungi dan mengayomi masyarakat.
Konon, penelitian serupa (tidak sama) pernah dilakukan oleh seseorang untuk meraih gelar sarjana dalam disiplin kriminologi di sebuah perguruan tinggi terkemuka di negeri ini. Pada Kesimpulan penelitiannya, disebutkan bahwa remaja-remaja yang terlibat kegiatan “Pak Ogah” secara terus-menerus, dikhawatirkan kelak saat dewasa akan mengembangkan premanisme yang bermula dari dirinya sendiri.
Mungkin ada yang berpikir, bahwa soal “Pak Ogah”, “ankamsi” dan “pemalak jalanan”, adalah soal receh dan sangat lokal. Tetapi, itulah soal kecil yang berangkat dari pemahaman yang salah, sehingga sejahtera seolah hanya ditentukan oleh faktor yang sekadar pragmatis matrialistis. Lebih laten lagi bila kriminal itu plus pemalas.
Sungguh, sangat ekstrem jauh bila dibandingkan dengan orang-orang yang tergolong kurang mampu, tapi ikhlas menggratiskan mengantar anak-anak tak mampu berangkat sekolah!**