Jakarta, jurnalkota.id
PT Pertamina (Persero) melalui Subholding Refinery & Petrochemical, tetap melanjutkan pengembangan dan pembangunan kilang melalui proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) di Balikpapan, Cilacap, Balongan, Dumai, dan Grass Root Refinery (GRR) di Tuban dengan tetap memperhatikan protokol Covid-19.
Kendati pandemi Covid 19 berdampak pada turunnya permintaan (demand) masyarakat terhadap bahan bakar minyak (BBM),
Pada Rapat Dengan Pendapat dengan Komisi VII DPR RI, CEO PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Ignatius Tallulembang menjelaskan saat ini ada 6 kilang yang dioperasikan dengan kapasitas terpasang 1 juta barrel per hari, dengan kondisi kilang sudah cukup tua.
“Jenis crude yang dapat diolah oleh kilang-kilang saat ini adalah sweet crude yang sebagian besar berasal dari domestik. Karena kilang di Indonesia didesain untuk mengolah crude dengan kandungan sulfur yang rendah, rata-rata 0.2% dan berdasarkan berat jenis kilang kita didesain untuk medium dan heavy,” ungkapnya.
Menurut dia, melalui proyek RDMP dan GRR yang sedang dipercepat progressnya sampai saat ini, selain meningkatkan kapasitas kilang dan kualitas produk setara EURO 5, kilang juga akan meningkatkan fleksibilitas dari crude yang akan diolah, yang lebih banyak tersedia di dunia dan dari sisi harga lebih kompetitif. “Saat pandemi Covid 19 ini, Pertamina harus tetap mengoperasikan kilang existing agar dapat memenuhi kebutuhan energi nasional,” tukasnya.
Di sektor pengolahan, lanjut dia, Pertamina juga mengalami dampak, karena menurunnya demand masyarakat terhadap beberapa produk BBM. Agar kilang tetap beroperasi, Pertamina melakukan aksi korporasi dengan menjual BBM jenis High Speed Diesel (HSD) 50 ppm dari RU V Balikpapan ke Malaysia.
“Ekspor merupakan langkah bisnis yang dilakukan sebagai salah satu solusi, dan kita mendapatkan harga pasar terbaik sesuai kesepakatan pada saat itu. Hal ini menunjukkan Pertamina dapat mempertahankan operasional bisnisnya di tengah pandemi sekaligus membuktikan kualitas BBM yang diproduksi oleh kilang Pertamina diakui oleh mancanegara,” papar Ignatius.
Ia menyebutkan, pada dasarnya harga ekspor HSD 50 ppm ke Malaysia tidak lebih murah dibandingkan harga jual BBM di SPBU. Hal ini dikarenakan harga ekspor HSD tersebut menggunakan perhitungan FOB (Free on Board) dimana harga jual yang disepakati adalah harga produk yg keluar dari kilang dan secara volume adalah jumlah besar (Bulk).
“Sehingga harga ini tidak bisa dibandingkan dengan harga jual di SPBU karena perhitungan harga jual BBM di SPBU harus mengakomodir biaya-biaya lain seperti biaya inventory dan biaya distribusi ke berbagai titik, termasuk ke titik pelosok Indonesia,” ujarnya.
Sebagai gambaran, lanjutnya, biaya distribusi ke sebuah titik pedalaman Indonesia jika dihitung secara keekonomian bisa mencapai puluhan ribu per liter. Namun pada kenyataannya, harga jual yang di berikan Pertamina tetap sesuai dengan ketentuan pemerintah sebagaimana amanah Pemerintah mewujudkan harga berkeadilan.
“Geografis negara kita yang bervariasi membuat perhitungan biaya distribusi BBM di Indonesia cukup kompleks dan tidak bisa langsung dibandingkan apple to apple dengan penjualan bisnis pada umumnya,” ucapnya.
“Tapi tentu saja, kami tetap berkomitmen untuk menyediakan energi ke seluruh pelosok Indonesia. Dan kami berterimakasih pada seluruh pihak yang mendukung upaya Pertamina menyediakan energi tersebut mulai dari pemerintah daerah, mitra kerja dan stakeholder lainnya,” tutup Ignatius.(Sya)