Suryadi
Pemerhati Budaya & Kepolisian
Waktu terus berlalu meninggalkan jejak “para Pelaku”-nya. Satu berakhir dan yang lain muncul. Bagi si cerdas bersyukur, tak satu pun yang sia-sia. Apalagi, bagi bangsa Indonesia yang sebentar lagi segera menghelat Pemilihan Umum (Pemilu).
Rasa aman dan tegaknya hukum menjadi faktor penting bagi suksesnya peristiwa politik penentu arah ke depan bangsa ini. Dalam hal ini, Brimob ada pada posisi strategis mengingat ia merupakan pasukan penindak pamungkas Polri. Sementara yang dihadapi adalah anak-anak bangsa sendiri. Komjen Pol. Drs. Anang Revandoko, M.I.Kom (Akpol 1988B) yang lebih dari tiga tahu mengomandoi Brimob, digantikan oleh “adik asuhnya”, IJP. Drs. Imam Widodo, M.Han (Akpol 1989). Imam, Wakil Komandan Korps Brimob (Wadankorbrimob), segera menjadi sosok yang ke-2 berbintang tiga memimpin pasukan yang embrionya dimulai dari Polisi Istimewa (PI) ini.
“Perubahan itu, salah satu (dari tidak banyak, pen) hukum yang abadi di dunia ini…,” tutur lembut dan filosofis Ustadz Drs. Ahmad Tohir Moya dari Desa Tamansari, Gedongtataan, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
–Tohir, mertua dari seorang tamtama Detasemen Kimia, Biologi, dan Radio Aktif (KBR), Pasukan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua–HUKUM kepastian seperti dituturkan oleh Tohir tadi, untuk ke sekian kalinya terbukti. Setidaknya, Polri yang kali ini membuktikannya.
Pada 14 Oktober 2023 –tanggal kelahiran polisi jujur dan amat sederhana, Hoegeng Iman Santoso–, Kapolri menerbitkan Surat Telegram (ST) mutasi No: ST/2360/X/2023. Sebanyak 55 perwira tinggi (Pati) dan perwira menengah (Pamen) terbawa gerbong mutasi itu.
Dari mereka yang dimutasi, satu Komandan Korps Brimob (Dankorbrimob) dan sejumlah Kapolda. Selain Imam naik menggantikan Anang, juga IJP Prof. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho, S.H., M.H. Guru besar dan alumni Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) ini, cukup lama memimpin Polda Banten, yaitu sejak 5 Januari 2021.
Rudy segera akan menjadi guru di Sekolah Pempinan Tinggi (Sespimti) Polri. Ia amat membumi di Banten dengan “12 Commander Wish”-nya. Ia digantikan oleh Brigjen Pol. Abd. Karim. Di masa lalu ketika berpangkat Kombes, Karim pernah menjadi Kapolrestro Kota Tangerang. Kota ini masuk Provinsi Banten, namun dalam strutktur Polri berada di bawah Polda Metro Jaya.
Lebih lama lagi ketimbang Rudy di Polda Banten, Kombes Pol. Edy Sumardi, S.H., M.H (Akpol 1996). Direktur Pengamanan Objek Vital (Obvit) ini, 2018 dari Polda Riau masuk ke Polda Banten sebagai Kepala Bidang Humas.
Sebagaimana empat Kapolda yang didampinginya, Edy sangat dekat dengan banyak kalangan internal dan eksternal lewat kegiatan sosial “Jumat Barokah”. Bersama personel berseragam coklat, konsisten ia setiap jelang Jumatan menyambangi langsung orang-orang tak mampu di Kota Serang dan sekitarnya, seraya berbagi bingkisan. Edy dimutasi ke Badan Pemilharaan Keamanan (Baharkam) Polri. Pasti banyak kalangan yang merasa berat melepas Prof. Rudy dan Edy.
Yang sempat hangat dan ramai disepekulasikan, adalah pengganti Kapolda Jawa Timur (Jatim), IJP Toni Hermanto, yang segera bertugas di luar struktur Polri, akhirnya terjawab juga. Toni yang segera bertugas di luar struktur Polri, digantikan oleh IJP Imam Sugianto, Kapolda Kalimantan Timur (Kaltim).
Tentu saja, konsekwensi dari mutasi ini, berlanjut dengan pergantian demi pergantian berikutnya. Termasuk Wakapolda Papua, Brigjen Pol. Ramdani Hidayat akan kembali ke Korps Brimob mengisi tempat yang ditinggalkan Imam Widodo.
Brimob, Jatim dan Pemilu
ADALAH fakta pernyataan Asisten SDM Kapolri, Prof. Dr. Dedi Prasetyo, bahwa “Mutasi jabatan adalah proses alamiah dalam organisasi, dalam rangka peningkatan kinerja, promosi dalam sitem pembinaan karir tour of duty and area”.
Akan tetapi, tentu saja sangat menyederhanakan masalah, jika pernyataan normatif itu disebut sebagai “hal biasa-biasa” saja. Sebab di baliknya, ada tuntutan yang memang tidak sederhana, mengingat Polri dalam menjalankan tugasnya sehari-hari berhadapan langsung dengan anak bangsa sendiri.
Misal, sebelumnya, mutasi Kapolda Jatim begitu mengundang perhatian publik. Mungkin sedikitnya ada tiga alasan. Pertama, disorotnya “kelalaian” polisi dalam pengamanan di lapangan terkait 135 penonton tewas di Stadion Kanjuruan, Malang, usai pertandingan lanjutan “BRI Liga I”, 1 Oktober 2022. Ketika itu Polda Jatim dipimpin oleh IJP Niko Avinta, yang menurut perintah Kapolri kemudian digantikan oleh IJP Tedy Minahasa, Kapolda Sumbar .
Kedua, belum lagi sempat formal dilantik, terbongkar kasus Tedy terlibat “mengomandoi” penggelapan sebagian dari puluhan kg barang bukti kejahatan narkoba di Sumbar. Dia diseret ke depan meja hijau dan pengadian memvonis seumur hidup. Oleh institusi Polri Tedy juga diberhentikan tidak dengan hormat (PTDH). Telegram Kapolri untuk Tedy dibatalkan, dan Toni yang menggantikannya. Ketiga, seiring berjalannya tahapan Pemilu menuju pemungutan suara 14 Februari 2024, kini Toni digantikan dengan Iman Sugianto.
Belum lekang dari ingatan tentang kedua kejadian terdahulu tadi, agaknya faktor Pemilu menjadi hal yang amat menantang. Ini mengingat Jatim yang berpenduduk lebih dari 41 juta jiwa, merupakan gudang dari pemilih yang amat diperebutkan. Selain merupakan tempat lahirnya organisasi Islam terbesar Nahdlatutl Ulama (NU), di Jawa Timur “terkonsentrasi” banyak pemilih yang warga NU.
Organisasi keumatan NU merupakan organisasi islam terbesar di Indonesia, bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Didirikan oleh K.H. Hasjim Ashari di Jombang, Jatim, 31 Januari 1926, NU yang berbasis pondok pesantren ini, diperkirakan kini memiliki lebih dari 95 juta anggota tersebar di seluruh Indonesia.
Seperti persebarannya, warga NU juga menyebar dalam beberapa partai peserta Pemilu serentak 2024 (legislatif, kepala daerah, presiden – wapres) . Perkiraan ini, bukan sembarangan. Setidaknya bisa diamati dari: Pertama, warganya –termasuk (bakal) calon wakil presiden— menyebar di beberapa partai. Baik sebagai politisi maupun simpatisan. Dan kedua, ekspos yang beragam, seperti pemberitaan berbagai media, mengarah kepada figur pilihan yang beda-beda pula.
Pemilu, biasanya ramai dimulai dari saat pendaftaran pasangan calon presiden – wapres. Berlanjut; ke masa kampanye pengerahan masa dan debat antarcalon; pemungutan suara. Berlanjut lagi dengan tahap pengumuman hasil Pemilu yang direspons oleh massa pendukung. Tak kalah ramainya, kemungkinkan adanya penyelesaian sengketa Pemilu di Mahkamah Konsitusi (MK). Di dalam gedung majelis MK bersidang, di luar massa beraksi.
Seperti pada Pemilu-pemilu yang lalu, sepanjang tahapan-tahapan yang dilalui, tak jarang massa reaktif. Mereka tak mampu membedakan “mana kebebasan berpikir, mana pula kebebasan berekspresi”. Keadaan menjadi lebih rawan lagi bila massa disusupi “para pemancing di air keruh”.
Menjadi pengalaman sekaligus Pelajaran paling berharga adalah Pemilu 2019. Saat itu paling menonjol ketika mereaksi hasil Pilpres. Bertebaran pergerakan masa pendukung yang tidak terima atas kemenangan figur pasangan Presiden terpilih. Sampai-sampai Polri mengerahkan Brimob, pasukan penindak pamungkasnya, di seputar Ibu Kota Jakarta. Khususnya, Brimob membarikade Gedung DPR/MPR RI Senayan, untuk mengantisipasi kemungkinan upaya-upaya nyata penggagalan pelantikan DPR RI, DPD RI, dan MPR RI.
Pada saat itu, jika ketiganya urung dilantik, praktis siapa pasangan Presiden – Wapres terpilih tak ada yang melantik. “Kalau DPR RI 209 – 2024 tak Dilantik, Apa yang Terjadi,” demikian salah satu judul karangan dalam buku “Brimob Penerus Semangat Proklamator: Sebuah Catatan Perjalanan Kesetiaan, Keberanian, dan Keikhlasan Bhayangkata Korps Brimob (BPSP, Suryadi dkk, 2022: 13).
Imam Widodo, yang segera akan menggantikan Anang Revandoko, ketika itu juga ada dalam pengerahan pasukan Brimob di DPR/ MPR RI. “Tugas saya waktu itu mengendalikan Pos Komando,” kata Imam kepada penulis saat pengumpulan bahan penulisan buku BPSP, lebih setahun lalu (4/2/2022). Imam saat penyusunan bahan penulisan BPSP menjadi “sosok di balik layar” bagi tim penulis dalam memahami hal mendasar Brimob sebagai pasukan pamungkas Polri.
Dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk terjadi pada Pemilu 2024 akibat massa anarki dan brutal, Kapolri pada Maret 2022 telah meresmikan terbentuknya Pasukan Reaksi Cepat (PRC) Brimob Polri.
Simulasi menjalankan skenario pada peragaan kala itu, yaitu adanya pendemo brutal di Ibu Kota Jakarta sampai kepada tindakan menggunakan bom, tentu saja sangat tidak diinginkan terjadi hari-hari jelang Pemilu 2024.
Akan tetapi, antisipasi harus dilakukan dan PRC sudah dibentuk. Seperti pernah diungkapkan Imam sebagai pengalamannya kepada penulis, “Brimob itu bagian dari Polri. Pada Polri, tugasnya memberikan bantuan khusus, harus siap setiap saat diminta. Tak ada kata tidak berhasil. Tetapi, kita tidak gunakan peluru karet, apalagi peluru tajam. Kita gunakan gas air mata, seperti pada waktu jelang pelantikan DPR 2019. Sampai kita kehabisam gas air mata.”
Seperti melengkapi Imam, IJP Drs. Verdianto Iskandar Bitticaca, M.Si mengungkapkan, “Dengan penuh tanggung jawab kita lakukan pengamanan, apalagi massa yang kita hadapi kan anak-anak kita juga. Kita dan seluruh anggota tidak ada yang membawa senjata, kecuali gas air mata” (BPSP, Suryadi dkk, 2022: 54). Mantan Kakor Polairud dan Kapolda Sulbar itu, kini Asisten Opersi Kapolri.
Rakyat Komandan Tertinggi
HARI-hari ini belum muncul brutalitas massa di lapangan. Sebagai pasukan bantuan khusus, Brimob belum dikerahkan. Namun, di mana-mana di seluruh tanah air, Polri mempersiapkan diri, khususnya menyosialiasi pentingnya keselamatan rakyat dan negara, kepada para personelnya.
Sesuai UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Polri selain sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban (kamtibmas), menegakkan hukum (gakkum), sekaligus pada saat yang sama memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (linyomyanmas). Dengan diberlakukannya UU ini, sejak itu pula Polri itu polisi itu sipil.
Brimob sebagai pasukan pamungkas Polri tak lepas dari fungsi dan tugas Polri. Imam Widodo, yang segera akan memimpin Brimob yang sebagian besar karirnya dihabiskan di Brimob, tentu paham itu.
Sejatinya, komandan tertinggi di negara demokrasi, adalah rakyat. Namun, tertib hukum merupakan prasyarat bagi pelaksanaan demokrasi. Tidak semau-maunya!**