Oleh: Suryadi
Ketua Dewan Pembina PUSKOMPOL (Pusat Studi Komunikasi Kepolisian)/
Wasekjen LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional)
Massa mendemo, merusak, dan melakukan pembakaran
di Kompleks Mapolsek Candipuro, Lampung Selatan.
Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)
dan beberapa bagian lainnya, rusak terbakar.
Berita media tentang peristiwa tersebut di-WhatsApp(wa)-kan
kepada seorang Jenderal, dua Komisaris Jenderal, dan satu Inspektur
Jenderal (Irjen) Polisi di Mabes Polri. Tiga irjen yang kini
sedang menjabat Kapolda, juga menerima wa tersebut.
Tiga Kepala Bidang Humas berpangkat komisaris besar
(kombes) di tiga Polda juga tak luput dari wa itu.
Dua Brigjen Polisi yang kini bertugas di luar strukur Polri pun
menerimanya. “Sharing” berita diikuti kalimat yang lebih
kurang berbunyi: ini momen bagus untuk mempertinggi sosialisasi
SP2HPOnline yang diluncurkan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri). Apa itu SP2HP? Apa respons mereka terhadap
berita perusakan Mapolsek tadi? Bukankah komunikasi sekaligus
sosialisasi yang efektif akan mampu menengahi terpicunya
eksplosivitas kemarahan warga yang berbuntut anarki?
Mendemo dan Membakar
IDUL Fitri 1442 Hijriyah/ 2021 belum sepekan berlalu. Selasa malam (18/5/21) sekira jam 21.00 WIB, masa berkumpul di sekitar Mapolsek Candipuro, Lampung Selatan. Dua jam kemudian, sekitar pukul jam 23.00 WIB, massa masuk ke Markas Polsek. Bagaimana pun dua polisi, Kepala Unit Reserse Kriminal dan Intelkam yang berjaga di situ, juga punya perasaan takut. Mereka pun bersicepat pergi. Setelah lebih dulu melempari dengan batu dan membuangi sejumlah benda dari dalam kantor Polsek itu, massa memulai aksi brutalnya. Membakar! Satu setengah jam kemudian, jilatan api baru bisa dipadamkan oleh pihak petugas Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Lampung Selatan (Damkar Lamsel). Terakhir diketahui, bangunan (SPKT) dan beberapa bagian lain nya di Mapolsek Candipuro rusak atau terbakar.
Mengutip Camat Candipuro, Wasidi, Tribunnews.com (18/5/21) mewartakan, sebelum peristiwa anarki itu, hampir setiap hari ada penodongan dan pembegalan di wilayah kecamatan ini. Dalam sehari pernah terjadi lima kali. Disebutkan, masyarakat Candipuro kecewa terhadap polisi yang dinilai lamban menangani. Di lain pihak, polisi mengklaim tidak tinggal diam dan sedang berupaya mengungkap dan berharap warga memercayakan penanganannya kepada polisi (Tribunnews.com, 19 Mei 20201, 05:06). Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol. Zahwani Pandra Arsyad, Rabu (19/5/21) mengatakan, tuduhan bahwa polisi tidak bekerja, jelas tidak berdasar. Sebab, dalam rentang Januari – April 2021 Polsek Candipuro telah mengungkap sedikitnya tujuh pencurian kendaraan bermotor, baik itu pembegalan maupun pencurian dengan pemberatan. Empat di antaranya sudah P21 dan dilimpahkan ke kejaksaan (Kompas.com, 19/05/2021, 10:47).
Sementara Kapolda Lampung, Irjen Pol. Hendro Sugiatno meminta agar provokator pembakaran menyerahkan diri. Ia berkomitmen untuk melakukan penyelidikan dan melakukan penegakkan hukum kepada provokator dan pelaku perusakan Mapolsek Candipuro. Kapolda juga meminta agar warga tidak mudah terprovokasi oleh hasutan-hasutan yang merugikan masyarakat sendiri karena pelayanan kepolisian menjadi terganggu (antaranews.com, Rabu, 19/5/21, 20:33).
Lantas apa sebenarnya yang terjadi di balik pembakaran Mapolsek Candipuro? Sejauh ini, menurut Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol. Ahmad Ramadhan, ada delapan orang yang menjadi provokator aksi pembakaran, sedangkan yang terlibat banyak itu hanya ikut-ikutan. Kapolres Lampung Selatan, AKBP Zaky Alkazar Nasution mengaku telah mengamankan kedelapan orang yang diduga sebagai dalang perusakan dan pembakaran Polsek Candipuro (tribunnews.com. Kamis, 20/04/21, 07:32).
Tentu saja, tak cuma itu yang bisa diungkap. Harus ada pengungkapan sampai ke akar-akar persoalan yang bersemayam akut baik di internal Polri hingga di garis terdepan berhadapan langsung dengan masyarakat yaitu Polsek-polsek termasuk Polsek Candipuro. Selain juga, berusaha mengungkap apa yang membasis pada masyarakat sehingga mereka mudah terprovokasi. Mungkin diperlukan pelibatan para ahli tak cuma di bidang hukum, melainkan juga sososilogi dan psikologi. Hal ini agar Polri peka dan prediktif jitu membaca bakal potensi dan potensi kerawanan atau kemungkinan yang bakal terjadi termasuk pemicu eksplosivitas kemarahan masyarakat yang berpuncak pada tindakan anarki berupa perusakan harta negara.
Respon
SEPUTAR “sharing” berita peristiwa pembakaran Mapolsek Candipuro kepada sejumlah jenderal polisi di Mabes Polri, Kapolda serta perwira menengah Polri yang kini menjadi Kabid Humas di Polda tadi, mereka memberi respon. “Sharing” berita tersebut dihubungkan dengan SP2HPOnline yang bertujuan agar pelapor perkara pidana kepada polisi dapat secara kontinu mengetahui perkembangan penyidikan langsung dari penyidik atau atasannya. Di antara mereka yang merespon lewat wa, yakni:
Dua jenderal bintang dua masing-masing membalas: “tks” dan “Ok tks sarannya”, sedangkan seorang lagi balas me-wa, “Betul sekali Pak Suryadi, itu pelajaran yang berharga bagaimana merespon dan langkah-langkah kepolisian dalam menangani kasus yang meresahkan”.
Seorang Kabid Humas di salah satu Polda terang-terangan menyatakan: “Siap Pak Sur”, sedangkan sejawadnya di Polda lain merespons pendek, “Trims Pak”. Akan tetapi, seorang Kabid Humas di Polda yang berbeda dan kepadanya ditambahkan pertanyaan, “Apakah SP2HPOnline sudah merata ke Polsek-polsek?”, ia menjawab: “Kami sudah presisi Pak”. Kemudian, sosok kombes yang terakhir ini, cuma membuka wa-nya ketika dikomentari balik, “Ini momen untuk mempertinggi intensitas sosialisasi SP2HPOnline….”
PRESISI, dan Teknologi
KINI Polri tergolong “manula” di usianya yang sudah 76 tahun (pinjam istilah manusia di atas usia 60 tahun). Kehidupan Polri seperjalanan dengan berdirinya Republik Indonesia tercinta dari masa ke masa. Jenderal yang berada di puncak pimpinan silih berganti seiring dengan rupa-rupa kepemimpian negara sejak:
• Sukarno, 20 tahun sejak proklamasi kemerdekaan hingga perjalanan bangsa yang penuh gejolak nyaris tiada henti;
• Soeharto, 32 tahun masa otoriter Orde baru ditandai tingginya tingkat represivitas, Polri yang menurut konvensi dunia (Genewa) adalah sipil malah menjadi bagian dari tentara;
• BJ Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Pada masa ketiganya memimpin Negara, Polri berada di masa-masa krusial peralihan dari Orde Baru ke era reformasi ditandai oleh konsolidasi demokrasi berkepanjangan yang tak kunjung mendewasakan;
• Presiden SBY (dua kali lima tahun), sampai kepada Joko Widodo sebagai Presiden yang kini memasuki lima tahun kedua masa kekuasaannya, penuh tantangan politik. Hal itu diperparah oleh beratnya beban perekonomian akibat serbuan pandemi Covid-19 dengan sejumlah sikap yang berubah-ubah untuk mengatasinya (juga dialami oleh ratusan negara dan belum diketahui kapan akan berakhir).
Kini Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah Kapolri yang ke-26. Setiap Kapolri bukan cuma ingin kepemimpinannya berjalan dengan baik tanpa dekil-dekil, bahkan mungkin tanpa koreng yang mencacati. Meski, fakta menunjukkan hal tersebut mustahil. Sebab, terlalu banyak faktor yang bisa dijelaskan terkait bahwa yang menjadi anggota Polri termasuk para pemimpinnya adalah juga manusia yang harus mampu membedakan “sistem yang mengendalikan Polri atau sebaliknya”.
Belum lagi persoalan kelayakan sistem yang berelasi dengan realitas kehidupan anggota Polri itu sendiri dan masyarakat yang amat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang melingkarinya. Selalu ada dominasi kepentingan pribadi-pribadi di eksternal yang memengaruhi, meski terpengaruh atau tidak adalah sangat ditentukan oleh konsistensi berkomitmen pada penegakkan moral, integritas dan profesionalisme seorang polisi.
Suka tidak suka, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, semua itu terbangun sebagai suatu “legacy” yang pantas dinikmati saja, diteruskan, disempurnakan, atau kah sama sekali dihentikan? Yang pasti bahwa di setiap peralihan kepemimpinan Polri, nyaris tak ada suatu hasil evaluasi yang terpublikasi secara representatif kepada publik. Saya yakin, suatu analisa dan evaluasi (anev) mendalam telah dilakukan mendahului setiap akhir masa jabatan Kapolri, namun mungkin hal itu dianggap bukan untuk konsumsi publik. Maka, jadilah “itu cuma untuk internal”. Artinya, Polri harus memahami bahwa publik bebas berinterpretasi atas fakta-fakta berjalan. Maka, Polri sendiri secara kelembagaan atau person-personnya tidak perlu buru-buru merasa terfitnah oleh interpretasi masyarakat yang terpublikasi. Bukankah kehendak terbuka sudah dicanangkan lewat tranparansi dalam PRESISI?
Terlepas dari sinambung atau tidak program dan kerja-kerja antara satu pemimpin Polri dengan pemimpin Polri berikutnya, sejumlah Kapolri menggelar visi dan misi, sistematis membingkai atau langsung berupa kerja-kerja implementatif. Misalnya, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo yang selama 14 tahun menjadi Kapolri (29 Sept. 1945 – 14 Des. 1959). Pahlawan nasional bermental baja ini teruji konsisten. Kepada Presiden sekali pun, ia hadapkan sikap Polri yang tidak boleh dipengaruhi oleh politik. Ia bergeming menghadapi segala macam tantangan “kenakalan politik” dan “sikut-menyikut” internal dan berusaha menggunakan pengaruh Presiden Sukarno, sampai ia harus dicopot. Ia menerobos lewat pentingnya pendidikan dan pembentukan fungsi-fungsi dalam tubuh Polri.
Di masa Orde Baru, Anton Sudjarwo (4 Desember 1982 – 6 Juni 1986) membenahi memutar roda organisasi Polri dengan menggulir Rekonfu singkatan dari Reorganisasi, Konsolidasi, dan Fungsionalisasi.
Sebelum Anton, Kapolri Prof. Awaloedin Djamin merigit kerja-kerja reserse dengan keharusan adanya statistik kriminal. Melalui mekanisme ini, antara lain dapat terbaca kecenderungan “crime rate” sehingga dapat pula diketahui jenis kejahatan dan fluktuasinya. Selain, tentu saja, dapat diketahui juga tingkat penyelesaian penyidikannya sebelum menuju ke tahap selanjutnya. Sejak itu (atau mungkin bahkan jauh-jauh sebelumnya) hingga kini terbentuklah atau memang sengaja dibentuk, seiring melajunya angka-angka pertumbuhan kejahatan, imej bahwa reserse adalah ujung tombak utama Polri dalam menjamin keamanan masyarakat dari beragam kejahatan. Meski, sebenarnya tanpa sinergitas fungsi-fungsi di internal, Polri hanya akan lebih berperan sebagai “pemadam kebakaran” yang sulit mengatasi persoalan-persoalan mendasar terjadi dan membiaknya beragam kriminalitas sebagai buah dari masalah-masalah sosial yang memagut kehidupan masyarakat.
Kini di puncak nomor 1 Polri Sigit kapolrinya. Masa bakti lulusan Akpol 1991 ini masih akan lebih panjang daripada para pendahulunya di masa (katanya) reformasi ini. Ia sosok junior lulusan Akpol yang “butuh” dilingkari para senior (1987, 1988, 1989), seperti dapat dibaca dari realitas yang kini mengisi puncak-puncak kepemimpinan Polri. Jika tak diganti di tengah jalan, sangat mungkin ia menjadi Kapolri sampai kepemimpinan Presiden Jokowi berakhir pada 2024. Bahkan, ketika kepemimpinan Presiden Jokowi (yang menjadikannya Kapolri) berakhir, Sigit masih anggota Polri aktif. Ia menjadi Kapolri didahului oleh Idham Azis, sosok yang cuma 14 bulan menjalankan kepemimpinan dengan gaya lugas pragmatis. Di lain sisi Idham dapat dikatakan sosok “pelanjut” rekan seiringnya semasa di pasukan antiteror Densus 88, jenderal intelektual Prof. M. Tito Karnavian (kini mendagri). Jika Tito menggulir cita-cita mewujudkan Polri yang Promoter (Profesional, Modern, Terpercaya) yang kemudian dimantapkan oleh Idham Azis, giliran Sigit menggulir konsepsi PRESISI untuk Polri dalam menjalankan kepemimpinannya.
PRESISI dari segi bahasa adalah kata yang diserap dari bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, yaitu “precision” yang artinya “kesaksamaan”, “ketelitian” (Echols dan Shadhily, 1993: 442). PRESISI dalam bahasa Indonesia diartikan “ketepatan”, “ketelitian” (KBBI, 2002: 895). Sigit menggulir konsep PRESISI untuk memutar sistem untuk kerja-kerja organisasi Polri sebagai kristalisasi dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan.
Setidaknya saya melihat PRESISI tepat dilihat dari arti kata baik dalam bahasa Indonesia maupun “precision” dalam bahasa asalnya. Dengan Demikian PRESISI hendaklah dimaknai oleh kerja-kerja organisasi dan segenap insan Bhayangkara dari fungsi yang manapun (bukan cuma reserse), sebagaimana nilai yang dikandung oleh prinsip keterbukaan. Keterbukaan itu mengundang tanggung jawab semua pihak, baik di dalam tubuh Polri maupun masyarakat.
Dengan PRESISI yang betul-betul dijalankan, masyarakat akan merasakan bahwa Polri memiliki kepekaan membaca kebutuhan masyarakat akan rasa aman hari ini, masa berjalan, dan yang patut diduga berkembang di kemudian hari (Prediktif). Semua itu berlangsung secara terbuka sehingga bukan hanya kontrol internal yang berfungsi, tapi kontrol sosial pun menjadi efektif (Transparansi). Masyarakat tidak hanya bisa dengan ketinggian emosinya mengontrol, melainkan juga harus mampu memberikan partisipasinya, kapan harus aktif dan kapan pula pasif memberi ruang bagi polisi untuk membuktikan kerja-kerja dan pelayanannya. Inilah, agaknya, gagasan yang melahirkan pemolisian masyarakat (“community policing”).
Selanjutnya kemudian, diharapkan akan tumbuh sifat dan konkret sikap tindak cepat tanggap Polri, bahkan di saat sebelum sesuatu terbangun menjadi potensi gangguan (Responsibilitas). Akhirnya (bukan penghabisan) dari terwujudnya cita-cita Polri yang PRESISI, tercipta masyarakat yang merasakan adanya keadilan. Ini berkait erat dengan Polri yang senantiasa dapat dikontrol baik oleh internal maupun eksternal secara terbuka (berkeadilan), selain Polri yang membuka diri bagi masuknya partisipasi masyarakat. Pinjam istilah pemasaran, dapat dikatakan setara dengan terjaminnya “kepuasan pelanggan” (kepuasan masyarakat).
Dalam memulai kepemimpinannya, Sigit di satu sisi mencoba secara proporsional mamadukan upaya-upaya memperkecil sentuhan langsung polisi dengan masyarakat, khususnya dalam urusan yang berkaitan dengan yang dapat dipandang rawan mengundang permainan alias “kong-kalingkong” antara polisi dan masyarakat. Ini dilakukan dengan memanfaatkan teknologi yang sudah familiar dan dikuasai masyarakat, semisal gawai (telepon genggam pintar). Di lain sisi, ia juga “care” terhadap pentingnya tatap muka langsung antara polisi dan masyarakat, semisal keberadaan polisi-polisi Bhabinkamtibmas di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, ia telah mencanangkan Polsek-polsek percontohan yang tidak menangani penyidikan sehingga penyidikan dinaikkan ke Polres sebagai atasan Polsek. Artinya, Polsek-polsek ini diberi peran lebih pada mekanisme cegah, tentu insklusif di dalamnya menjadi “hidung, mata, dan telinga polisi”.
Di antara rencana-rencana yang telah diwujudkan Kapolri, selain sistem tilang elektronik (E-TL, belum di semua lokasi lalu lintas) yang membuat para pelanggar lalu-lintas tak berkutik, yaitu SP2HP Online, dan Hotline110. SP2HPOnline merupakan layanan kepolisian yang memberikan informasi kepada masyarakat sampai sejauh mana perkembangan perkara yang mereka laporkan ditangani oleh penyidik Polri. Layanan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) Online yang menjamin akuntabilitas dan transparansi penyidikan ini, diresmikan oleh Kapolri di Mabes Polri, Senin (26/4/21). Hotline 110 diresmikan di Mapolda Jabar pada Kamis 20 Mei 2021 untuk merespon cepat setiap aduan masyarakat kepada kepolisian.
Ketika peresmian SP2HPOnline, Kapolri menguraikan, “Masyarakat atau pelapor bisa mendapatkan nomor ponsel penyidik berikut atasannya. Dengan begitu, pelapor bisa melakukan komunikasi dan menanyakan langsung jika perkaranya jalan di tempat. Masyarakat akan mengetahui batasan waktu penanganan suatu perkara sehingga masyarakat mendapatkan kepastian hukum.” (antaranews.com, Senin, 26 April 2021 17:47 WIB). Tentang penyelenggaraan Hotline110, Kapolri menegaskan, “Hotline 110 ini merupakan upaya untuk mempermudah akses masyarakat dan mempercepat respon Polri ketika dibutuhkan masyarakat. Ke depan masyarakat mendapat pelayanan Polri semudah memesan pizza.” (news.detik.com. Kamis, 20 Mei 2021, 19:03)
Anarki Terlarang dan Nirmanfaat
KEBRUTALAN jelas merupakan perilaku paling primitif dan bukan saatnya lagi ada di abad modern yang keberadabannya ditandai oleh kemajuan teknologi, khususnya bidang informasi berciri efektif dan cepat. Maka apa pun alasannya, tindakan anarki jelas terlarang dan nirmanfaat. Apalagi, sampai merusak harta negara seperti di Markas Polsek Candipuro, Lampung.
Akan tetapi, hendaklah dicermati perbantahan sejalan dengan terjadinya peristiwa Candipuro tadi. Terkesan sederhana, tapi tak boleh diabaikan. Peristiwa ini harus berhikmah bagi Polda-polda lain di Tanah Air bahwa, teknologi bukanlah apa-apa, mengingat: 1) Pada banyak belahan di bumi Indonesia yang cenderung patriarkart dan masih mengedepankan hal-hal bersifat emosional (dalam contoh lain: betapa sulitnya mengajak masyarakat konsisten bermasker untuk kepentingan keselamatan diri sendiri di masa Covid-19), dan 2) berkomunikasi hendaklah efektif dan komunikatif serta menjalankan sosialisasi yang tidak elitis, jauh dari jargonistis cenderung “iklanism” menjebak atau malah mengajak masuk ke dalam sikap yang multiinterpretatif.
Mengitung jarak antara saat diluncurkannya SP2HPOnline dan Hotline110 dengan “Peristiwa Mapolsek Candipuro” (PMC) atau jika ada yang sejenisnya di Tanah Air, tidak bisa dijadikan alasan bahwa keduanya baru saja diluncurkan, sehingga belum tersosialisasi dengan baik. Keduanya bukan segala-galanya. Keduanya alat bantu yang harus ditempatkan pada proporsi masing-masing. Keduanya tidak tepat untuk dikatakan sebagai segala-galanya yang dapat menuntaskan jawaban dari segala segi tinjauan. Sebab, sebelum SP2HPOnline dan Hotline110 digulir, hubungan langsung antarmanusia yang terbina sejak lama hingga kini, sudah lebih dahulu dapat terselenggara.
Penyelenggaraan keduanya dapat ditangkap dari keberadaan dan pelembagaan fungsi Humas (hubungan masyarakat) Binmas (bimbingan masyarakat termasuk Bhabinkamtibmas) dalam tubuh Polri. Kebinmasan dan kehumasan sudah seharusnya tidak cuma bergantung pada fungsi Binmas dan Humas, tapi inklusif dalam kapasitas pelembagaan fungsi-fungsi dalam tubuh Polri serta para pelakunya. Lebih daripada itu adalah terbangunnya hubungan antarfungsi dalam tubuh Polri yang benar-benar berfungsi sehingga terbangun sinergitas yang jauh dari sekadar jargonistis.
Hal tersebut hanya bisa terjadi ketika bagi semua fungsi dibukakan ruang sinergi secara sistematik dan terorganisasi dengan baik. Gambaran sederhananya adalah selarasnya musik yang lahir dari sebuah orkestrasi nan harmoni. Dari sini, saya ingin mengatakan, mungkin di tingkat pusat, kedua fungsi tersebut cukup terperhatikan dengan baik. Tetapi, sebuah langkah korektif perlu dilakukan segera terutama dalam hal penempatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan karir orang-orangnya, dan anggaran di Polda-polda, Polres-polres, apalagi di Polsek-polsek. Tanpa itu, keduanya cuma fungsi yang akan diforsir pada saat diperlukan. Selebihnya, tergantung pada kegigihan si penanggung jawab masing-masing fungsi. Ujung-ujungnya, bukan mustahil akan melahirkan mereka yang apatis alias “asal jangan ‘nggak’ berbuat saja.”
Pada persoalan kehumasan dan kebinmasan (bukan sekadar fungsi humas dan binmas) tersebut, setidaknya saya melihat ada persoalan “ketersumbatan kecil” dalam mengomunikasikan perkembangan suatu penanganan perkara, terkait persoalan-persoalan yang meresahkan masyarakat. Hal ini dapat dibaca pada “perbantahan” yang sudah dikemukakan di awal-awal tulisan ini. Satu sisi ada pernjelasan Camat Candipuro, Wasidi. Eksplisit ia mengatakan, pembakaran di Mapolsek tersebut berawal dari kekecewaan warga lantaran polisi dinilai lamban menangani peristiwa penodongan dan pembegalan yang sudah sering terjadi di wilayah kecamatan Candipuro. Tetapi, di lain sisi pihak kepolisian punya versi lain. Menurut Kapolsek Candipuro, polisi sebenarnya tengah melakukan penyelidikan. Sejalan dengan itu, bahkan Kabid Humas Polda Lampung menegaskan, menuduh bahwa polisi tidak bekerja jelas pernyataan yang tidak berdasar. Terbukti, dalam rentang Januari – April 2021, Polsek Candipuro telah mengungkap sedikitnya tujuh pencurian kendaraan bermotor, baik pembegalan maupun pencurian dengan pemberatan. Bahkan, empat di antaranya sudah P21 dan sudah pula dilimpahkan ke Kejaksaan.
Kini perusakan dan pembakaran sudah terlanjur terjadi. Biarlah Polisi bekerja. Itu sudah menjadi persoalan hukum. Tetapi, polisi hendaknya bekerja bukan saja untuk mengungkap siapa-siapa para tersangka provokator dan pelaku peristiwa tersebut. Sepanjang penyelidikan dan penyidikan, tentu akan terendus alasan-alasan mendasar sehingga peristiwa itu tersulut menjadi tindakan anarki. Dengan demikian, bukan cuma akan ditemukan para tersangka, melainkan alasan yang paling basis bahwa warga gampang “dikipas-kipas” oleh provokator sehingga menjadi matang untuk digerakkan kepada kemarahan yang berujung perusakan dan pembakaran.
Gampangnya, penulis ingin mengatakan, tindakan anarki harus diproses secara hukum. Tetapi, sosialisasi dan komunikasi terkait perkembangan penanganan suatu perkara yang meresahkan masyarakat, menjadi tuntutan agar khususnya fungsi terkait langsung dalam tubuh Polri, mempunyai kepekaan dalam hal kehumasan dan kebinmasan. Lebih daripada itu, adalah bagaimana pemungsian kelembagaan fungsi humas dan binmas, betul-betul dihidup-hidupkan sehingga tidak sekadar berfungsi “pematut-matut diri (institusi) agar terlihat terus cantik”.
Ariflah hendaknya merespon pandangan bahwa, “Untuk perkara-perkara yang urgen dan meresahkan, kecil sekalipun, sangat pantas Polri hingga di tingkat terdepan, segera menginformasikan kepada masyarakat secara cepat dan efektif mengena”. Tanpa itu, masyarakat takkan menjadi akrab dengan SP2HPOnline, Hotline110, atau yang sejenisnya yang sesungguhnya memang diperuntukkan melayani masyarakat. Sesungguhnya semua aparatus itu adalah pelayan. Memang menjadi pelayan yang baik diperlukan kerendahan hati!***