Oleh: Suryadi
(Pemerhati Kepolisian dan Budaya)
“…saya ingin menggambarkan sikap saya
terhadap ‘Bang’ Ari Dono…,” ucap Jenderal Pol. Drs. Idham Azis, M.Si. Sebelumnya, Idham melantunkan
tembang Bimbo ‘Tajam tak Bertepi’, ”…Tiada tergambarkan//
Dalam kata-kata// Perasaan sedih ini// Maka kuungkapkan lewat nada//
Syair lagu ini.” (Selasa, 7 Januari, 2020,Kampus PTIK, Jakarta selatan)
WAKTU itu Idham seorang Kapolri, pemuncak jabatan di Polri. Ia lulusan AKABRI – Kepolisian (Akpol) 1988A. Ari Dono Sukmanto (ADS), jenderal bintang tiga dengan jabatan Wakapolri, Lulus Akpol 1985, ADS kelahiran Bogor 23 Desember 1961.
Jadi, baik jabatan maupun kepangkatan, Idham atasan ADS. Tetapi, bagaimanapun, ADS kakak tingkatnya ketika di Akpol. Ketika Idham baru menjadi taruna Akpol, ADS sudah di tingkat III. Ia juga lebih muda dua tahun daripada ADS.
‘Toh’ Idham di hadapan ratusan anak buahnya tak sungkan-sungkan menyapa ‘Bang’ pada ADS. Dipastikan, hal yang sama juga dilakukan oleh para Bhayangkara yang lain kepada para seniornya. Nanti, bila serah-terima jabatan atau pelepasan Kapolri Idham, sapaan ‘Bang’ akan kembali meluncur ringan pula dari Listyo Sigit Prabowo (Akpol 1991). Begitu pula saat ia melepas Wakapolri, Komjen Pol. Dr. Gatot Edy Pramono (GEP, 1988A). Kini GEP ‘diambil’ oleh Menteri BUMN menjadi Wakil Komisaris Utama PT. Pindad.
Perilaku santun serupa, misalnya, juga biasa dilakukan Irjen Pol Drs. Purwadi Ariyanto, M.Si (1988B). Tengah bincang-bicang bersama penulis dan sejumlah stafnya, Kapolda Lampung ini menyapa ‘Bang’ kepada seorang staf senior berpangkat Kombes. Komunikasi ‘atasan – bawahan’ jadi berubah renyah dan cair.
Rupanya, sapaan ‘Bang’ lanjutan tradisi ketika masih Taruna Akpol. Waktu itu, ‘adik asuh’ menyapa kakak tingkatnya ‘kakak asuh’. “Sapaan itu tradisi sejak masih di taruna Akpol,” kenang Kombes Pol. Edy Sumardi Priadinata, S.I.K. M.H., lulusan Akpol 1996. Pegiat ‘Jumat Berbagi – Jumat Barokah’ ini, sejak 2018 menjadi Kabid Humas Polda Banten. Di lingkup tugasnya, ia juga kerap menyapa stafnya dengan sapaan ‘adik asuh’. Edy, peraih penghargaan kehumasan terbaik untuk kategori ‘amplifikasi’ dari (ketika itu) Kapolri Tito Karnavian.
Tulisan ini, secara ringan membincangkan sapaan ‘Bang’ sekaligus salah satu tradisi yang patut diteruskan sebagai komunikasi untuk pendemokrasian ke dalam (Polri). Harapannya, akan ada pembiasaan menjadi Polri yang humanis ketika memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
*PENCERAHAN INTERNAL*
POLRI adalah representasi dari Pemerintah. Prof. Hermawan menulis, “Perspektif tentang negara adalah konsepsi abstrak mengenai ‘nation state’ yang sosoknya diwakili oleh Pemerintah. Pemerintahan dapat, bahkan harus berganti–ganti. Tetapi, Pemerintah sebagai representasi negara tidak boleh berubah-ubah. Siapa yang ‘berwenang’ memelihara dan menjaga survivalitas itu? …fokus perhatian harus ditujukan kepada dua institusi terpenting dalam ’domain’ ini, yaitu TNI dan Polri. Salah satu alasannya adalah, militer dan polisi diberi kewenangan untuk menggunakan kekerasan dan senjata” (2011: 1 – 2).
Akan tetapi, perubahan paradigma secara internasional yang mendorong munculnya keinginan mengubah pemerintahan yang otoriter menjadi lebih beradab (‘civilize’), telah membawa pula perubahan terhadap polisi kaku semacam itu. Di Indonesia, gerakan politik penentangan terhadap pemerintahan yang otoriter sudah bertahun-tahun hidup. Puncaknya, Reformasi 1998 ditandai oleh jatuhnya Rezim Otoriter Soeharto. Dua tahun kemudian, UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian diundangkan. Resmilah Polri sebagai polisi sipil.
Tidak mudah. Secara organisasi atau struktural, barangkali sudah banyak perubahan. Tetapi, akan lebih sulit adalah perubahan kultural, seperti pernah diungkapkan oleh Prof. H.M. Tito Karanvian, semasa masih Kapolri (2016 – 2019). Dimaksudkan kultural, adalah sikap dan perilaku bawaan yang sebenarnya pas bila Polri masih di era mengedepankan ‘kekerasan’. Di hadapan sipil, hal serupa ini, diterjemahkan arogan, ‘main kuasa’, ‘precede before being preceded’.
Substansi ‘culture change’ ke dalam Polri sendiri, baik institusional maupun personal, adalah agar bisa lebih bersikap melayani dengan humanis. Pelayanan semacam ini, tidak mungkin dilakukan oleh sosok yang tidak membiasakan diri melayani dengan humanis di internal sendiri. Sapaan ‘Bang’ dari seorang dengan pangkat dan jabatan lebih tinggi namun lebih junior kepada senior yang menjadi bawahannya, adalah bentuk ‘hirau’ akan hubungan yang memanusiakan. Ada psikologis pada relasi sosial dalam lingkup terbatas masyarakat Polri itu sendiri.
Bila dibungkus menjadi polisi dengan segala kewenangan, fungsi, dan tugasnya dalam kehidupan yang demokratis, tak terelakkan lagi bahwa ke dalam Polri sendiri harus lebih dahulu demokratis. Maka, sengaja saya menggunakan pendemokrasian polisi untuk dapat dilaksanakannya pemolisian demokratik (democratic policing).
Dalam demokrasi dipersyaratkan secara utama adanya kebebasan (meski bukan segala-galanya), termasuk kebebasan orang di sekitarnya untuk didengarkan. Bukan hanya menjadi pendengar. Maka, sapaan ‘Bang’ menjadi lebih konkret dengan adanya kemauan atasan –meski ia lebih junior– untuk cerdas mendengar. “…bila seseorang merasa didengar, maka orang tersebut merasa dihargai harkat kemanusiaannya. Sebagai timbal balik, kita pun akan diperlakukan sama oleh orang itu…,” tulis psikolog Unpad, Sawitri (2005: 17). Indah!
‘Bang’, dengan demikian, dapat dipahami selain sebagai pemberian penghargaan kepada yang lebih senior, juga keakraban tanpa menegasikan hubungan yang hirarkis dalam sebuah organisasi yang masih menganut ‘satu komando’.
Pengembangan ‘Bang’ menjadi pas ketika dihadapkan pada realitas hubungan junior – senior. Apalagi, secara kelembagaan, di struktur Polri sudah mencerminkan adanya unit-unit ‘think tank’, selain pengelola dan eksekutor. Bertabur pula SDM berpendidikan S1, S2, S3. Bahkan, kini setidaknya sudah lima profesor polisi aktif. Polisi bergelar S1 dan S2 sudah gampang ditemukan di Polsek-polsek, bahkan Bhabinkamtibmas.
Menjalankan kepemimpinan, khususnya Kapolri dan pemangku jabatan-jabatan puncak lainnya, baik di pusat Polri maupun di Polda-Polda, hendaklah dimaknai membuka ruang pengakuan bagi SDM yang terberdayakan dan tercerahkan. Polisi sangar berpistol atau bedil, sudah waktunya bersalin wajah humanis dan dialogis, tanpa harus kehilangan tegas. Teknologi tinggi yang berciri khas serba cepat, tak pula mesti meniadakan relasi kemanusiaan dalam pelayanan masyarakat.***