Jakarta, jurnalkota.com
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta managemen PT PLN (Persero) agar membuka seluas-luasnya keragaman dan kanal pengaduan konsumen yang mengalami tagihan melonjak (billing shock).
“Kami banyak menerima keluhan dari konsumen yang mengalami kesulitan saat ingin melaporkan kasusnya via call center 123, atau akses lainnya. Ini menunjukkan kanal pengaduan yang ada belum optimal mewadahi keluhan/pengaduan konsumen,” kata Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi dalam pesan tertulisnya yang diterima Ruangenergi.com di Jakarta, Minggu (07/6).
Untuk itu ia meminta managemen PLN untuk melakukan sosialisasi seluas-luasnya kepada konsumen/pelanggannya, terutama di area yang banyak mengalami masalah serupa sebagaimana yang terjadi pada edisi April-Mei. “Ini penting agar masyarakat mengerti duduk persoalan dan musabab yang terjadi serta mengetahui apa yang harus dilakukannya,” ujar Tulus.
Pihaknya juga meminta kepada konsumen yang mengalami billing shock untuk segera melaporkan ke call center PLN, baik via 123, atau kanal medsos yang dimiliki BUMN listrik tersebut. “Tapi sebelum melaporkan, sebaiknya konsumen melakukan recheck terlebih dahulu terhadap kewajaran pemakaiannya, dengan melihat pemakaian jumlah kWh terakhir dengan jumlah kWh bulan sebelumnya. Sebab selama WfH dan LfH, umumnya pemakaian energi listrik konsumen mengalami kenaikan,” pungkasnya.
Sebelumnya, konsumen listrik kembali dikejutkan oleh melonjaknya tagihan listriknya edisi Juni, bahkan lebih dari 200 persen. Hal ini sebenarnya sudah diprediksi oleh managemen PT PLN kPerser), bahwa akan ada sekitar 1,9 juta pelanggannya yang akan mengalami tagihan melonjak (billing shock), dari mulai 50-200 persen, bahkan lebih.
PLN mengklaim terjadinya billing shock ini karena dampak wabah Covid-19, sehingga petugas PLN tidak secara penuh bisa mendatangi rumah konsumen karena PSBB, dan atau rumah konsumen yang dilockdown, untuk melakukan input data pemakaian konsumen.
Selain itu, konsumen juga tidak mengirimkan photo posisi akhir stand kWh meternya (via whatsapp). Hal ini yang kemudian membuat managemen PLN menggunakan jurus pamungkasnya yakni menggunakan pemakaian rata-rata tiga bulan terakhir, sehingga ada istilah “kWh tertagih”.(Sya)