Garut, jurnalkotatoday.com
Buntut Penganiayaan Terhadap santri pasca Pemilihan Legislatif (pileg) Tahun 2024 di Kabupaten Garut menyisakan cerita kelam bagi Oim Abdurohim (40), salah seorang santri di Pondok Pesantren Fauzan warga Kp. Sukagalih, Desa Cipangramatan, Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut.
Oim Abdurohim dikeroyok sejumlah orang sampai mengalami luka-luka di beberapa bagian tubuhnya. Ia pun dibawa ke Puskesmas Cikajang untuk divisum dan harus menderita karena menahan sakitnya selama hampir dua minggu lamanya.
Berdasarkan pengakuan Oim Abdurohim saat memberikan kesaksian pada agenda pemeriksaan saksi-saksi kasus pengeroyokan dengan Nomor Perkara 141/Bid.B/2024/PN Grt, terkuak fakta-fakta yang ia sampaikan langsung kepada Hakim di Ruang Sidang Kartika, Pengadilan Negeri Kabupaten Garut, Kamis (25/04/2024).
Oim mengaku, awalnya ia dibawa oleh dua orang yang bernama Dedi dan Dede Setiawan ke seberang Gedung Puskesmas Cikajang. Tepatnya di Kp. Pasar Wetan Cikajang, Kabupaten Garut, pada hari Kamis, 07 Desember 2023.
“Saat itu saya sedang berdiri di depan Puskesmas Cikajang, untuk membawa salah satu kerabat teman saya ke RSU Slamet Garut. Lalu ada pak Kades Dede dan Pak Dedi. Pak Kades menyilangkan tangannya ke leher saya dan membawa saya ke seberang Puskesmas. Saat itu kami sempat cekcok dan Dedi melakukan pemukulan ke wajah saya, kemudian datang lebih dari enam orang mengeroyok saya,” ujar Oim kepada Majelis Hakim, yang dipimpin Sinta Gabiera Pasaribu, SH., MH.
Menurut Oim, setelah mengalami pengeroyokan oleh orang-orang yang tidak dikenalnya, Oim mengaku ada pihak yang melerai yaitu Satpam Puskesmas Cikajang. Setelah Satpam itu melerai, baru Kepala Desa Padasuka Cikajang yang bernama Dede Setiawan ikut menyusul melerai pengeroyokan. Kemudian salah satu anak Kades tersebut yang bernama Dida Komara menanyakan siapa yang telah merusak baligho. Oim pun mengaku tidak tahu.
“Setelah Satpam melerai antara saya dan pelaku pengeroyokan, baru Pak Kades ikut melerai. Sebelum saya dibawa ke IGD untuk diperiksa, salah satu anak Pak Kades yang bernama Dida bertanya kepada saya, siapa yang merusak baligho. Lalu saya jawab tidak tahu,” ujar Oim.
Pengakuan Oim di persidangan saat itu sempat membuat suasana menjadi riuh. Sejumlah pengunjung yang merupakan keluarga para terdakwa seperti merasa puas dengan pengakuan Oim yang menyebut nama Kepala desa padasuka dan salah satu anaknya.
Kemudian Hakim Sinta Gabriela Pasaribu kembali bertanya, sosok para terdakwa yang berada di lokasi persidangan dan bagaimana kondisi Oim setelah mengalami pengeroyokan. Oim pun menjawab bahwa dirinya tidak melakukan aktivitas apapun selama dua minggu lamanya.
“Kegiatan saya mencari rumput, karena luka-luka akibat pengeroyokan saya gak kemana-mana. Saya tidak mengenal para tersangka, namun gak mungkin mereka tiba-tiba mengeroyok saya apabila tidak ada yang menyuruh,” ujarnya.
Hakim Sinta pun kembali bertanya, apakah Oim Abdurohim selaku korban sudah memaafkan para tersangka dan sudah melakukan perdamaian, Oim pun menjawab pertanyaan itu dengan penuh keyakinan, bahwa dirinya kepada empat terdakwa sudah berbaikan dan sudah memaafkan.
“Mereka dan keluarganya sudah datang dan meminta maaf kepada saya. Saya sudah memaafkan mereka. Mereka juga sudah memberikan uang kepada saya untuk pengobatan sebanyak Rp 4 Juta. Sementara keluarga Pak Kades belum datang dan belum membantu pengobatan saya,” kata Oim yang disambut tawa dari para pengunjung karena prilaku Oim yang nampak pemalu dan blak-blakan.
Namun lain halnya ketika pihak JPU (Jaksa Penuntut Umum) melayangkan pertanyaan kepada saksi Oim. Pria ini lebih lantang dan menjawab pertanyaan JPU dengan lugas. “Apakah saudara saksi melihat Dida Komara anak pa Kades dan apakah Dida ikut memukul saudara saksi,” ujar JPU dari Kejaksaan Garut bernama Solihin, SH.
Mendapat pertanyaan itu, Oim pun menjawab bahwa saat dirinya dikeroyok, kondisinya lagi berhadapan dengan Kepala Desa (Kades) Padasuka Dede Setiawan dan Dedi yang berada tepat di depannya. Sementara pihak penganiayaan ada di bagian belakang tubuhnya, sehingga dirinya tidak melihat siapa saja yang melakukan pemukulan kala itu.
“Saya kan berhadapan dengan pa Kades dan pak Dedi, setelah Pak Dedi memukul muka saya, lalu ada banyak orang ikut memukul saya di belakang sampai saya terjatuh. Pelakunya lebih dari enam. Saya melihat Dida Komara, tapi siapa saja yang memukul, saya juga tidak tahu karena posisinya ada di belakang badan saya,” terangnya.
Selain Hakim dan JPU, Asep Muhidin, SH,. MH selaku kuasa hukum dari para terdakwa Cecep alias Rizal, Renof dan Muhammad Pandi juga mengajukan pertanyaan kepada saksi Oim Abdurohim tentang siapa dan bagaimana cara kedua orang yang mengajak dirinya menyebrang dari Gedung Puskesmas Cikajang saat itu.
“Saudara saksi, siapa saja yang mengajak saudara saksi untuk menyebrang dan bagaimana cara menyebrangnya. Apakah berjalan biasa saja, atau tangan saudara dipegang atau bagaimana,” tanya Asep Muhidin.
Menjawab pertanyaan itu, Oim mengatakan, kedua orang yang mengajak dirinya untuk pindah dari tempat sebelah pos Satpam Puskesmas Cikajang ke seberang jalan yang menjadi lokasi pengeroyokan adalah Kades Dede Setiawan dan tersangka Dedi.
“Pak Kades Dede menyilangkan tangannya ke leher saya, sementara saudara Dedi berjalan bareng. Kemudian kami bicara, posisi Pak Kades dan Pak Dedi ada di depan saya. Saat bicara, saudara Dedi mukul wajah saya, dan yang lain ikut memukul,” paparnya.
Kemudian Hakim kembali mengajukan pertanyaan terhadap saksi Oim Abdurohim, apakah saksi menurunkan baligho atau tim sukses Dida Komara atau tim sukses dari pihak lainnya. Dengan tegas Oim menjawab dirinya bukan tim sukses dan tidak tahu tentang baligho. “Saya tidak tahu dan saya bukan tim sukses siapapun,” terangnya.
Merasa sudah cukup mendapatkan informasi, Oim Abdurohim selaku korban pun dipersilahkan untuk pergi dan menunggu di kursi pengunjung.
Majelis pun menghadirkan salah satu saksi lain yakni Saep Sasa. Saksi ini melihat kejadian pemukulan dan pengeroyokan yang dilakukan Dedi dan lainnya. “Saya tidak mengenal mereka semua. Sebenarnya saya ingin membantu, tetapi saya takut,” ujar Saep kepada Majelis Hakim.
Tiga terdakwa yang diduga pelaku pengeroyokan Rizal, Cecep dan Muhammad Pandi blak-blakan tentang situasi, kondisi dan siapa saja pelaku pengeroyokan. Dengan kompak saat menjawab pertanyaan JPU, bahwa mereka melakukan pengeroyokan karena merasa dekat dengan salah satu anak Kades Padasuka sekaligus salah satu Caleg, Dida Komara. Mereka pun datang ke lokasi pengeroyokan karena ada perintah, bahkan salah satu tersangka datang ke lokasi bersama-sama menggunakan satu kendaraan mobil dengan Dida Komara.
Bahkan ketiga terdakwa menyebutkan bahwa Kades dan kedua anaknya yakni Dida Komara dan Megi ikut terlibat melakukan aksi pengeroyokan terhadap korban. Namun hal itu dibantah Dida Komara. Sementara, Kades Padasuka, Dede alis Dede Pentil yang juga dihadirkan sebagai saksi tidak datang ke pengadilan dengan alasan sedang melaksanakan tugas sebagai Kepala Desa.
Kesaksian Dida Komara, Caleg Sekaligus Putra Kepala Desa Padasuka Cikajang
Persidangan yang dilaksanakan terbuka untuk umum tersebut kembali menghadirkan saksi lainnya. Kali ini, pihak pengadilan menghadirkan Dida Komara sebagai salah satu putra dari Kades Padasuka dan orang yang berada di lokasi kejadian dan dianggap terlibat pada aksi pengeroyokan kepada Oim Abdurohim.
Pada fakta persidangan, baru terungkap bahwa persoalan pengeroyokan tersebut diawali oleh baligho Calon Presiden, Ganjar Pranowo dan baligho Calon Legislatif (caleg) DPRD Garut, Dida Komara. Hal itu diakui Dida Komara yang dihadirkan sebagai salah satu saksi diantara sekian banyak saksi lainnya.
Hakim Sinta Gabiera Pasaribu bertanya tentang apakah Dida Komara merupakan caleg DPRD Garut, Dida pun menjawab bahwa dirinya adalah caleg. Kemudian, Hakim juga bertanya tentang asal usul terjadinya pengeroyokan terhadap Oim Abdurohim.
Dida Komara pun nampaknya sudah siap dengan pertanyaan hakim. Saat itu juga dengan lantang bahwa dirinya adalah Caleg. Sementara asal muasal terjadinya keributan di lokasi Puskesmas Cikajang dikarenakan dua baligho yang hilang. “Baligho pa Ganjar dan saya hilang. Dua-duanya tidak ada,” tegasnya.
Saat itu, Dida mengaku dirinya tidak ikut melakukan pemukulan terhadap Oim Abdurohim. Sementara alasannya tidak membantu korban dan langsung melerai pengeroyokan, dikarenakan saat itu dirinya berada di seberang lokasi pengeroyokan dan sedang mengobrol dengan Satpam Puskesmas Cikajang yang sebelumnya sudah memberikan kesaksian di persidangan sebelumnya.
“Saat itu saya berada di seberang lokasi kejadian dan sedang berbicara dengan Satpam. Saya menanyakan tentang ada apa dan persoalannya apa, lalu keributan terjadi. Saya melihat Pak Dedi yang memukul pertama kali,” ujar Dida saat menjawab pertanyaan JPU, Solihin, SH.
JPU kembali bertanya, apakah Dida dan keluarganya sudah berdamai dengan pihak korban. Dida pun mengaku sudah datang ke rumah korban dan memberikan bantuan uang untuk berobat melalui ibunya.
“Pihak keluarga sudah datang ke rumah korban dan memberikan uang sebesar Rp 500 ribu untuk berobat melalui ibu. Saat itu ada istri korban,” terang Dida yang ditimpali dengan teriakan “jujur, kudu jujur” yang ternyata suara itu datang dari korban Oim Abdurohim yang duduk di bangku pengunjung paling belakang.
Teriakan korban yang spontan itu membuat ruangan bergemuruh dan salah satu hakim naik pitam. Hakim meminta semua yang ada di dalam ruangan persidangan untuk menghormati jalannya persidangan. Korban Oim pun langsung menutup bibirnya dengan tangan kirinya. Setelah itu, persidangan dilanjutkan masih dengan saksi yang sama, Dida Komara.
Pertanyaan yang sama disampaikan Asep Muhidin. Kenapa saksi Dida Komara tidak langsung melerai aksi pengeroyokan para tersangka yang dikenalnya kepada korban Oim Abdurohim. Kemudian Dida menegaskan, seperti jawaban yang ia sampaikan kepada JPU, bahwa dirinya berada di seberang lokasi kejadian.
“Saya berada di seberang lokasi kejadian dan lagi bicara sama pak Satpam, kemudian saya melerai anak-anak. Setelah itu saya dan bapak membawa korban ke IGD Puskesmas untuk diobati,” katanya.
Suasana di luar Ruang Sidang Kartika sempat memanas, tatkala keluarga para tersangka melihat Dida Komara yang sedang duduk santai setelah memberi kesaksian, sementara anak-anak mereka berada dibalik jeruji besi. kades,Dida komara,Rano dan megi Disebut Ikut Terlibat Pengeroyokan
Sebelumnya, di hari yang sama, pihak PN Garut menghadirkan terdakwa Dedi dan mendengarkan kesaksian ketiga terdakwa lainnya. Majelis Hakim yang dipimpin Haryanto Das’at, SH,. MH, Sandi Muhammad Alayubi, SH,. MH dan Ahmad Renardhien, SH menghadirkan tiga terdakwa, Rizal, Muhammad Pandi dan Renof.
Menurut keterangan ketiga saksi sekaligus terdakwa ini, Kades Dede Setiawan, Dedi, Dida Komara anak Pak Kades, Rano, Wawan, Owen dan Megi juga ikut terlibat pada aksi pengeroyokan tersebut.
“Megi itu anak Pak Kades. Megi juga ikut menendang sambil mengambil video. Megi punya video waktu terjadi pengeroyokan. Kami tahu dari Megi sendiri yang bercerita saat di depan rumah Pak Dedi,” ujar Rizal, Cecep dan Muhammad Pandi dengan kompak saat menjawab pertanyaan JPU, Patrice, SH.
Sementara, saat dihubungi wartawan melalui sambungan Whats Appnya, Jumat (26/04/2024) Dida Komara sebagai salah satu saksi kasus pengeroyokan terhadap Oim Abdurohim meminta wartawan untuk melakukan konfirmasi kepada penasehatnya, Rusmana.
Sementara Asep Muhidin, SH,. MH usai persidangan kepada wartawan mengaku akan terus menggali fakta-fakta yang sebenarnya. Dirinya meyakini bahwa semua kliennya tidak serta merta melakukan aksi pengeroyokan apabila tidak ada sebab.
“Ada sebab, maka ada akibat. Kami akan membuktikan fakta sebenarnya di persidangan, kenapa semua klien saya melakukan pengeroyokan. Dan tadi sudah jelas, pengakuan dari tersangka Dedi dan Ketiga tersangka lainnya, bahwa ada pihak-pihak lain yang membuat mereka melakukan pengeroyokan terhadap korban Oim Abdurohim. Namun sepertinya pihak tersebut tidak mau bertanggung jawab dan malah mengorbankan para tersangka. Kalau kata pepatah, lempar batu sembunyi tangan,” singkatnya.
Selain itu, lanjutnya, klien kami mengakui dengan jujur kalau mereka benar telah melakukan pemukulan atau penganiayaan dengan tangan kosong kepada korban Oim dan telah dimaafkan bahkan telah berdamai. Bahkan keluarga klien kami telah menjadi keluarga dengan korban Oim Abdurahman. Namun disini ada keterangan yang saya duga sudah dipersiapkan, sehingga klien kamilah yang dikorbankan. Itu kan dzolim dan tidak boleh.
H. Ujang Slamet