Jurnal kota, Jakarta – Subdit II Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya bersama Kementerian ATR/BPN Republik Indonesia menggelar jumpa pers terkait sindikat mafia tanah bermodus sertifikasi palsu dan e-KTP ilegal di Hotel Mercure, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu, 12 Februari 2020. Ungkap kasus mafia tanah polisi berhasil mengamankan tujuh pelaku, yakni RH, AY, HP, SD, BM, DOS, dan DE yang satu pelakunya seorang wanita.
Kapolda Metro Jaya Irjen Polisi Nana Sudjana yang di dampingi Dr. Sofyan A Djalil, SH, MA, MALD (Menteri ATR/BPN RI), menuturkan selain tujuh orang tersebut terdapat tiga tersangka lain. Dua diantaranya masih buron yakni N dan D alias Ayu. Sedangkan satu tersangka lainnya, yakni DR merupakan narapidana dengan kasus serupa yang masih mendekam di Lapas Cipinang.
Nana memaparkan kepada awak media kasus tersebut terungkap berawal atas adanya laporan dari salah satu korban bernama Indra Husein. Laporan pada tahun 2019 silam, Indra mengaku menjadi korban penipuan setelah mengetahui sertifikat rumahnya digadai kepada seorang rentenir.
Diketahui korban pernah berniat akan menjual rumahnya yang berada di kawasan Jakarta Selatan seharga Rp. 70 miliar kepada pelaku D alias Ayu yang masih buron. D lantas mengajak Indra untuk mengecek keaslian sertifikat rumahnya itu ke notaris palsu yakni kantor Notaris Idham.
“Di sana ada tersangka RH yang mengaku sebagai notaris Idham. Pada saat di kantor Notaris Idham, korban memberikan fotokopi (sertifikat) untuk dicek di Badan Pertahanan Nasional Jakarta Selatan,” terang Nana, Rabu, (12/2/2020).
Korban yang bernama Indra menyuruh rekannya Luthfi bersama-sama dengan pelaku D mendatangi Kantor BPN Jakarta Selatan untuk mengecek keaslian sertifikat rumah. Namun, tanpa sepengetahuan Luthfi sertifikat rumah milik Indra itu ditukar dengan sertifikat palsu oleh pelaku D. Pelaku D yang diduga pembuat sertifikat palsu itu pun mengaku menerima upah Rp 30 juta.
Berhasil memperoleh sertifikat asli rumah milik korban Indra, pelaku D pun menyerahkannya sertifikat asli milik Indra kepada pelaku Dms dan Dh. Sampai pada akhirnya Dms dan Dh menggadaikan sertifikat rumah milik korban senilai Rp 11 miliar kepada seorang rentenir.
“Untuk memuluskan aksinya, Dms dan A membawa seseorang untuk mengaku sebagai Indra dan istrinya. Uang senilai Rp 11 miliar ditransfer ke rekening bank Danamon dan ditarik tunai untuk diserahkan ke tersangka A dan N,” jelas Nana.
Korban Indra baru sadar ketika ada seseorang yang hendak membeli rumahnya, kalau sertifikat rumah yang dipegangnya itu ternyata palsu lantaran telah ditukar oleh pelaku D. Ketika ada seorang pembeli lalu mengecek keaslian sertifikat di Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Selatan ternyata dokumen tersebut palsu.
Para pelaku dijerat dengan pasal berlapis, yakni Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP dan atau Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2010 Pasal 3, 4, 5 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. (Nvd)