Garut, jurnalkota.id
Seorang warga Kabupaten Garut bersama rekannya mendatangi Markas Polisi Daerah Jawa Barat (Mapolda Jabar) untuk menyampaikan laporan dugaan pelanggaran Undang-Undang (UU) sebagaimana dalam bahasa hukum dikenal dengan sebutan Delik Komisi (Commissie Delict), yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan di dalam Undang-Udang.
Asep Muhidin, S.H yang didampingi rekannya mengungkapkan kepada Jurnal Kota, diarahkan untuk konsultasi terlebih dahulu lalu, dari hasil konsultasi tersebut terdapat perbaikan,
“Tadi kami konsultasi dulu ke Ditreskrimum, di sana kami diberikan pandangan, arahan mengenai dokumen yang sudah kami siapkan dari awal, untuk dimasukan ke Polda Jabar. Alhamdulilah sudah langsung diperbaiki dan sudah dimasukan dengan nomor agenda PU/434/V/2021,” jelas Asep Muhidin, S.H, Senin (3/5/21).
Lanjutnya, dari hasil konsultasi, ada perbaikan dari laporan dugaan tindak pidana menjadi laporan pengaduan dugaan pelanggaran UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
“Karena objek laporan kami yaitu adanya pelanggaran ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Jis Pasal 74 UU No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, Pasal 55, Pasal 59, Pasal 165 KUHP.”, jelas Asep di halaman Polda Jabar.
Adapun yang dilaporkan sesuai dengan dokumen laporan, di antaranya empat angggota DPRD Garut, Kepala Satpol PP, Bambang Hafid bersama Kabid Gakdanya Bangbang Riswandi, Kepala Dinas DPMPT, Eko Yulianto, dan salah satu pengusaha Tower. Di mana mereka diduga bekerjasama dalam pembiaran hukum.
Adapun materi dalam Laporan atau pengaduan masyarakat yang disampaikan, yaitu mengenai ketersediaan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) yang merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara itu faktanya, lahan pertanian pangan di Kabupaten Garut semakin berkurang dikarenakan beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian, di antaranya dibangun bangunan menara telekomunikasi yang berada di Desa Sadang Kecamatan Sucinaraja Kabupaten Garut, atau bahkan dengan alasan demi pembangunan di wilayah Kabupaten Garut.
Asep juga menjelaskan, kalau secara umum bahwa asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana, dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya.
“Nah untuk ini, aturannya ada yaitu Pasal 69 ayat (1) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Junto Pasal 74 UU No 11 Tahun 2020, tentang Cipta Kerja yang pada pokoknya menyebutkan setiap orang yang dalam melakukan usaha dan/atau kegiatannya memanfaatkan ruang yang telah ditetapkan tanpa memiliki persetujuan kesesuaian pemanfaatan ruang, sebagaimana dimaksud Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,” katanya.
Tinggal kemauan daripada Pemda Garut melalui alat kelengkapannya, seperti Satpol PP sebagai penegak Perda, Dinas PUPR ada bidang pengawasan pengendalian bangunan, DPMPT pun sama ada bidang pengawasan pengendalian.
“Apakah mereka yang digaji oleh uang negara bisa melaksanakan perintah Undang-Undang?, ” tanya Asep Muhidin, S.H di Polda Jabar.
Selaku pemerhati kebijakan publik dalam hal ini pemerintah, dia berharap kepolisian bisa membongkar sekelumit permasalahan ini, sehingga ketersediaan lahan pangan di Kabupaten Garut betul-betul terjaga, serta bisa menentukan siapa yang salah dan mempertanggungjawabkan kesalahannya itu di hadapan pengadilan.
“Kami akan terus mengawal proses ini, hingga betul-betul tercipta keadilan sebagaimana moto Kapolri kita,” tutupnya.
Penulis: H. Ujang Selamet/S.Zihad