Suryadi
Pemerhati Budaya
“Museum hendaknya menjadi ‘anurcery of living thougts’ (rumah
tempat pemeliharaan pikiran-pikiran yang tetap hidup) dan bukan
hanya ‘a cemetery of bric-a-brac’ (kuburan barang rongsokan).”
(George Brown Goode dalam Dr. Risma M.S., dkk, 2018: 5).
BEBERAPA waktu lalu saya menulis opini berjudul: Layak Berdiri, Museum Brimob Polri”. Kini, warga yang kerap melintasi jalan utama Cikeas Udik, Bogor, Jawa Barat (Jabar), akan mendapati aktivitas pembangunan fisik. Di dekat situ berdiri plang bertuliskan:
Di sini akan dibangun
MUSEUM BRIMOB POLRI.
Di atas lahan Krobrimob Polri Berdasarkan Keputusan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: KEP.945/X/2015.
Bagi Dewan Museum Internasional (ICOM, International Counsil of Museum), “Museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, dengan sifat terbuka dengan cara melakukan usaha pengoleksian, mengkonservasi, meriset, mengomunikasikan, dan memamerkan benda nyata kepada masyarakat untuk kebutuhan studi, pendidikan, dan kesenangan.”
Di Indonesia terdapat Undang Undang (UU) No. 11 Tahun 2010 yang mengatur keberadaan museum, selain juga Peratutaran Pemerintah (PP) No. 66 tahun 2015. Museum di Indonesia tergabung dalam Asosiasi Museum Indonesia (AMI). Organisasi ini sudah ada hingga ke daerah-daerah, termasuk Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta dan Jabar.
Secara umum, tentu saja, museum resmi terakreditasi. Kini dalam kabinet terbaru terdapat pula kementerian sendiri, yakni Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) –menggambarkan betapa penting, urgen, dan mendasarnya perihal budaya dalam pembangunan suatu bangsa. Dalam pemungsian museum, sebagai bagian dari masyarakat internasional, tentu museum Indonesia menyesuaikan dengan batasan yang diakui oleh ICOM.
Dengan demikian, koleksi museum tidak sembarang-sembarang koleksi benda. Ada persyaratannya. Seperti ditulis oleh Dr. Risma dkk. antara lain, memenuhi nilai sejarah dan ilmiah tanpa mengenyampingkan nilai estetis.
Juga, harus dapat dijadikan dokumen atau bakal menjadi momen sejarah alam dan budaya sebagai bukti nyata bagi peneltian ilmiah, baik realitas maupun eksistensinya.
Selain itu, koleksi yang disajikan merupakan benda asli (realita), replika atau reproduksi yang sah menurut persyaratan permuseuman. Ada lagi, 75% dari kolksi museum merupakan milik museum sendiri.
*Thinking before Sharing*
DI Indonesia saat ini mungkin ada 400-an museum. Masing-masing dengan ciri khasnya, baik dilihat dari konten yang disajikan maupun bagaimana menyajikannya.
Secara umum ada yang langsung menyajikan6 beragam benda-benda artefak; visualisasi dalam digitalisasi; atau perpaduan keduanya. Baru bisa dihitung dengan jari sebelah tangan yang setidaknya dapat dibandingkan dengan yang ada di Thailan (Asia Tenggara), apalagi Eropa seperti Perancis.
Agaknya, sajian dan bagaimana menyajikannya tadi, ditempuh setelah memertimbangkan kemajuan teknologi yang patut disaring oleh pengelola dan para penikmatnya –sehingga tidak justru tanpa “reserve” malah mendorong kegilaan pengunjung kepada sekadar mudah dan cepat. Artinya, ikut mengajak pengunjung untuk berbudaya baik dalam berpikir sebelum berbagi (thinking before sharing).
Maka, jadilah museum sebagai tempat yang layak dikunjungi dengan menyenangkan untuk memetik nilai-nilai dan budaya yang luhur dari bangsa yang sesungguhnya sangat beradab ini. Bukankah dari para orangtua masih kerap terdengar kalimat, “Bangsa beradab itu, bangsa yang berbudaya”.
Pada eksistensi museum terkandung maksud mendidik dengan inovatif dalam suasana yang rekreatif. Sehingga, darinya ada nilai yang tanpa terasa dapat dipetik dan dihayati. Sepulang mengunjungi museum, tersimpan kesan yang mendalam pada para pengunjung!
Simpulnya, museum menjadi pusat tujuan yang tidak membosankan, sehingga mampu ikut berkontribusi membangun anak-anak bangsa!
Goode seorang ahli itchiologi (biolog ikan). Dengan keahliannya ia menjadi administratur sebuah museum di Washington DC. Ia lahir di New Albany, Indiana, Amerika Serikat, 13 Februari 1851. Sudah 200-an tahun lalu. Di tengah berkarya untuk museum di Washington DC, ia meninggal dalam usia 55 tahun pada 6 September 1869.
Goode memang sudah wafat. Ia tak hidup ratusan tahun sebelumnya saat bangsa-bangsa Eropa sudah mampu menjelajahi Afrika, Amerika, dan Asia, kemudian pulang membawa beragam barang yang layak disajikan di meseum.
Akan tetapi, mungkin saja kalimat dan karyanya, telah ikut menginsiprasi ke luar tempat ia dilahirkan, eksis, dan berpulang: “Museum yang baik hendaklah menarik, menghibur, merangsang keingintahuan dan melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong kepada proses pembelajaran”.
“Museum harus bekerja bersama-sama perustakaan dan laboratorium museum sehingga dapat menjadi bagian dari pengajaran di sekolah dan universitas,” tulis lagi Risma dkk dalam buku ”Berkenalan dengan Museum” (2018).
Universitas atau sekolah-sekolah adalah lembaga yang layak dikerjasamai untuk menginternalisasi nilai-nilai yang tersaji dari museum kepada masyarakat.
Selain itu museum harus dapat menjadi salah satu perangkat dalam pencerahan manusia. Degan demikian, museum bukan hanya menjadi gudang tempat penyimpanan barang-barang tua. Sebaliknya, museum hendaklah mampu menjadi sarana mendidik dan memahami dunia dan budaya. Sudahkah demikian yang ada selama ini?
*Belum Meningspirasi*
DI alam Indonesia yang berpulau-pulau, beragam etnis, dan budaya ini, masih banyak budaya dan kebudayaannya yang belum tergali dan tersaji secara efektif kepada masyarakyat yang masih haus keteladanan.
Mungkin sudah tergali dan tersaji di museum, tetapi belum dapat dikatakan menjadi ‘anurcery of living thougts’. Belum maksimal menginspirasi!
Salah satu yang belum maksimal tergali dan tersaji dengan inovatif secara tidak membosankan, adalah khasanah ke-Brimob-an.
Pasukan pelaksana dan penindak utama dari Polri ini, punya sejarah yang panjang. Polri sendiri ditetapkan oleh Undang Undang No. 2/2002 sebagai pelindung, pengayom, pemelihara keamanan dan ketertiban masayarakat, serta penegak hukum.
Embrio dan perkembangan Brimob, sangat dinamis dan fluktuatif, sejalan dengan bagaimana penguasa politik pada perjalanan dan menjalankan kekuasaan masing-masing. Indonesia saat ini sudah hampir genap 80 tahun medeka dengan delapan pemimpin yang –katanya— dipilih di alam demokrasi secara demokratis. Demokrasi itu budaya politik lho?!
Sangat fluktuatif! Brimob sempat naik, turun, dihapuskan, lahir kembali tapi hidup dikerdilkan sebagai anak bungsu (penyebutan ini agar tidak parsial dalam ketuntasan sebagai pasukan Polri yang sipil) dalam jajaran Angkatan Bersenjata Republik Idonesia (ABRI). Sejak 1998, ABRI sudah berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), selayaknya filosofis dan praktis.
Dari sejumlah penamaan paramiliter ini, tercermin dari sosok Brimob dan perkembangannya sejak masa lalu yang dilewati dengan tidak mudah. Sebagai satu sejarah, ada unsur waktu, peristiwa, dan pengalaman di dalamnya. Di jelang merdeka, merdeka dan memertahankan kemerdekaan, hingga hari-hari ini saat terus mengisi hari-hari merdeka, Brimob aktif dengan keberadaannya.
Mungkin, itulah yang disebut sejarah. Prof. Kuntowijoyo (alm) dalam ”Pengantar Ilmu Sejarah” menulis, “Sejarah adalah rekontruksi masa lalu”. Tetapi, segera ia menambahkan, jangan dibayangkan bahwa membangun kembali masa lalu itu untuk kepentingan masa lalu sendiri; itu antikuarianisme dan bukan sejarah. Jangan dibayangkan masa lalu yang jauh.
Kata seorang sejarahwan Amerika, “Sejarah itu ibarat orang naik kereta menghadap ke belakang. Ia dapat melihat kebelakang, ke samping kanan dan kiri. Satu-satunya kendala ialah ia tidak bisa melihat ke depan.” (Kuntowijoyo, 1995: 18).
Di masa penjajahan Jepang, pemuda-pemuda dari berbagai daerah tergabung dalam Tokubetsu Satsutai. Dengan modal pemuda-pemuda ini lahirlah Polisi Istimewa (PI). Kemudian berubah menjadi Mobile Brigade (Mobrig) dengan berbagai kejayaan dengan Pasukan Pelopor-nya. Setelah sempat dikerdilkan oleh politik penguasa, Brigade Mobil (Brimob) terus berkembang.
Kini Brimob dengan beragam modernisasi. Terciri dengan alat dan peralatan khususnya, serta keberadaan Pasukan Gegana yang meliputi kemampuan di bidang kimia, biologi, radioaktifn dan nuklir (KBRN), Brimob nyaris tak pernah absen dalam berbagai langkah peniadaan gangguan keamanan di Tanah Air di bawah panji-panji Bhayangkara. Satu lagi yang tak bisa dilupakan, darinya lahir Pasukan Antiteror yang pada kiprahnya mampu membuktikan keefektivannya.
Kini jelang tiga dekade Indonesia berada dalam alam sipil. Brimob ada sebagai bagian dari Polri yang sipil. Tentu saja, minus dari mereka yang terlibat tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai oknum, terlalu sayang untuk dilalukan begitu saja tanpa banyak anak-anak bangsa ini menghayati dan meneladani darinya nilai juang demi Indonesia yang tetap utuh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Museum tampaknya mejadi media yang efektif dalam membuat “Brimob untuk Indonesia” tidak sekadar sebagai satu kalimat jargon. Tetapi, terhayati dan terimplementasi dalam kecintaan yang hakiki.
Artinya, “Brimob untuk Indonesia” tercermin dari warga Brimob sendiri, yang seketika itu juga menjalar ke dalam kehidupan masyarakat umum.
Sehingga, “nilai-nilai juang dan inovatif” tersebut tersebut hidup positif dalam kehidupan sehari-hari sebagai bangsa yang merdeka terbebas dari rasa takut. Bahkan, menginsprirasi kepada perubahan yang kreatif produktif.**