Jakarta, jurnalkota.id
PT Pertamina (Persero) saat ini masih tetap menyediakan produk bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan pertalite di seluruh wilayah Indonesia. Namun ke depan BUMN ini hanya akan menyisakan BBM ramah lingkungan saja. Hal ini mengacu pada ketentuan dunia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Mengenai penyederhanaan, kan intinya kita harus melakukan, satu, bahwa ada regulasi dari pemerintah dan juga kesepakatan dunia tentang lingkungan, bagaimana kita menjaga lingkungan. Jadi ada regulasi KLHK yang menetapkan bahwa untuk menjaga emisi karbon itu, menjaga polusi udara ada batasan di RON berapa gitu, di kadar emisi berapa,” kata Dirut Pertamina Nicke Widyawati dalam sebuah diskusi virtual di Jakarta belum lama ini.
Jika demikian, maka yang menjadi acuan adalah Peraturan Menteri (Permen) LHK NO.P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang baku mutu emisi gas buang kendaraan bermotor tipe baru kategori M, N, dan O, yakni bahan bakar yang boleh digunakan adalah standar Euro 4. Euro 4 merupakan standar kualitas bahan bakar di mana minimum RON 91 dan kadar sulfurnya tidak melebihi 50.
Sementara itu, produk Pertamina, yakni premium standarnya RON 88, pertalite RON 90, sedangkan pertamax RON 92. Jika begitu maka semestinya BBM premium dan pertalite tidak dapat digunakan.
Terlepas dari hal di atas, Nicke pun menjelaskan pihaknya akan mendorong masyarakat menggunakan BBM ramah lingkungan. “Untuk itu kita tentu akan teruskan program-program mendorong masyarakat untuk menggunakan BBM ramah lingkungan. Jadi kita akan dorong ke arah produk-produk yang bagus,” tambahnya.
Sementara itu, tingginya penggunaan BBM yang tidak ramah lingkungan dan tidak memenuhi standar Euro dinilai menjadi pemicu utama polusi di Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Hal ini akibat masih dominannya penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai moda transportasi utama warga. Sekalipun saat ini peran angkutan umum masal sudah mulai dirasakan, tapi signifikansi pengguna kendaraan pribadi belum terbendung.
“Polusi Jakarta masih akan tetap buruk jika mayoritas kendaraan itu masih menggunakan jenis BBM yang rendah kualitasnya seperti premium, atau BBM lain yang kandungan sulfurnya lebih dari 500 ppm. Padahal prasyarat BBM yang ramah lingkungan jika minimal RON-nya minimal 91, dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm ” kata Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonrsia (YLKI), Tulus Abadi di Jakarta, Selasa (23/6/2020).
Untuk itu, kata Tulus, Pertamina sebagai perusahaan energi yang menjual dan menyediakan BBM di Indonesia, langsung atau tidak langsung turut bertanggung jawab atas tingginya polusi di Jakarta, bahkan di Indonesia.
“Pertamina harus punya tanggungjawab moral untuk mengurangi tingkat polusi di kota-kota besar di Indonesia, dengan mengurangi distribusi dan penjualan jenis BBM yang tidak ramah lingkungan tersebut. Sangat mendesak bagi managemen Pertamina untuk meniadakan penjualan jenis BBM premium di Kota Jakarta dan Bodetabek, dan membatasi dengan ketat untuk daerah lainnya di Jawa, dan luar Pulau Jawa.,” paparnya.
Tulus mengungkapkan, bensin premium berkontribusi sangat signifikan terhadap polusi di Jakarta, karena lebih dari 30 persen bensin premium digunakan oleh kendaraan bermotor di Jakarta. Apalagi setelah marak adanya angkutan online, baik ojol (ojek online) maupun taksol (taksi online). “Kota Jakarta akan makin tenggelam dan kelam oleh polusi, dan jangan mimpi bisa mengikis polusi jika bahan bakar kualitas buruk seperti premium masih dominan bercokol di kota Jakarta,” kata Tulus.
Lebih jauh ia mengungkapkan, penghapusan BBM yang tidak ramah lingkungan (penghapusan premium), pada konteks lingkungan hidup sejalan dengan tema peringatan Hari Lingkungan Hidup Dunia 2020, yakni “Waktunya Kembali ke Alam” (Time to nature). Dan hal ini juga sangat sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebagaimana Perjanjian Paris (Paris Protokol), yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
“Kami sangat pesimis pemerintah Indonesia akan mampu mengurangi emisi karbon antara 29-40 persen, jika kita masih dominan menggunakan BBM yang tidak ramah lingkungan, dan sektor ketenagalistrikan masih dominan menggunakan pembangkit listrik berbasis batu bara (coal),” ucapnya.
“Relevan dengan fenomena New normal dalam kehidupan paska wabah Covid-19, maka di sektor energi/BBM, pun harus berbasis New normal juga; yakni konsisten menggunakan BBM yang ramah lingkungan dan memenuhi standard Euro,” tambah dia.
Apalagi, kata dia, pada konteks gerakan konsumen, menggunakan BBM yang ramah lingkungan adalah sejalan dengan filosofi konsumsi berkelanjutan (sustainable consumtion). “Konsumen turut bertanggungajwab terhadap perilaku berkonsumsinya, untuk menjaga kerusakan alam/lingkungannya, dan generasi mendatang,” ucqpnya.
“Namun untuk menahan daya beli masyarakat desakan untuk menghilangkan bensin premium dari kota Jakarta harus diimbangi dengan insentif bagi pengguna BBM dengan kualitas yang lebih baik, misalnya BBM dengan RON 92, seperti pertamax,” pungkasnya.(sl)