Jakarta, jurnalkota.id
Wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) premium dan pertalite di Jakarta dan sekitarnya kembali ramai dibicarakan publik. Menanggapi hal ini, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, bahwa hal itu menjadi sebuah keniscayaan jika basis rujukannya adalah aspek lingkungan, sosial ekonomi, bahkan aspek kesehatan.
“Karena dari sisi lingkungan dan kualitas udara, faktanya Jakarta telah diberikan predikat sebagai satu kota terpolusi di dunia. Buktinya adalah hasil ukur oleh AQI (Air Quality Indeks) pada Juli 2019, Jakarta berposisi sebagai kota terpolusi di dunia, dengan skor 175, alias kota tidak sehat (unhealthy),” katanya saat diskusi online yang digelar YLKI di Jalarta, Sabtu pekan lalu.
Dan skor tersebut, kata dia, bersifat konstan (tetap), bahkan kadang mengalami kenaikan. Rentang nilai indeks kualitas udara versi AQI adalah 0 sampai dengan 500. “Makin tinggi tingkat skornya, makin tinggi pula tingkat polusinya di suatu wilayah, rinciannya: kategori bagus (0-50), kategori moderat (51-100), kategori tidak sehat bagi kelompok rentan (101-150), kategori tidak sehat (151-200), kategori sangat tidak sehat (201-203), dan kategori berbahaya dengan skor 301-500,” tukasnya.
Terkait wacana penghapusan premium ini, kata dia, juga tak perlu menimbulkan kegelisahan, karena peniadaan premium ini sudah pernah diterapkan di Jakarta pada tahun 2018, bahkan saat itu produk tersebut sudah bisa dikendalikan secara ketat di seluruh Pulau Jawa, Madura, dan Bali (Jamali).
“Kita menyayangkan sikap Pemerintah saat itu yang akhirnya berubah, karena beberapa hari menjelang mudik Lebaran (2018), Menteri ESDM saat itu Ignasius Jonan justru mewajibkan SPBU Pertamina di Pulau Jawa termasuk Jakarta untuk kembali menjual premium dengan alasan klise untuk membantu pemudik dan menjaga daya beli masyarakat,” kata Tulus.
Lebih jauh ia mengatakan, tingginya emisi gas buang, sektor transportasi darat menjadi penyebab utama. Hal ini dibuktikan oleh Dinas Lingkungan Hidup Pemprov DKI Jakarta, bahwa sebaran penyebab polusi di Jakarta adalah: transportasi darat (75 persen), pembangkit listrik dan pemanas (9 persen), pembakaran industri (8 persen), dan pembakaran domestik (8 persen).
“Sangat logis sektor transportasi darat berkontribusi signifikan. Sebab Penggunaan kendaraan bermotor pribadi untuk sarana mobilitas warga masih dominan, baik roda empat dan atau bahkan roda dua. Saat ini lebih dari 13 juta unit sepeda motor dan lebih dari 6 uta unit ranmor roda empat dimiliki warga Jakarta. Ini belum termasuk kendaraan bermotor warga Bodetabek yang saban harinya menggerojoki Kota Jakarta, jumlahnya tak kurang dari 1 juta orang,” paparnya.
Seharusnya, kata dia, tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi tidak serta merta menjadi pencemar utama secara signifikan, jika bahan bakar yang digunakan berkualitas bagus dan ramah lingkungan. “Lihat saja langit udara negara-negara di Eropa yang tetap cerah membiru, karena jenis BBM yang digunakan standar Euro 6,” ucapnya.
“Inilah bedanya dengan Kota Jakarta, tingginya penggunaan kendaraan pribadi, berkaitan atau berhubungan dengan tingginya pencemaran karena jenis BBM yang digunakan berkualitas rendah dan tidak ramah lingkungan. Untuk memenuhi kualifikasi BBM ramah lingkungan dan memenuhi standar Euro, minimal harus RON 91 dan atau CN 51 untuk kategori diesel,” pungkasnya.
Sementara Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut mengungkapkan, bahwa konsumsi BBM premium saat ini terus mengalami penurunan. Hal ini, kata dia, mulai terlihat sejak Tahun 2014 atau 5 tahun terakhir ini berdasar data penjualan BBM Pertamina. “Misalnya, pada Tahun 2015 ke 2016, penurunan konsumsi premium juga kembali terjadi, yaitu dari 27,6 juta Kilo Liter/KL menjadi 21,6 juta KL. Bahkan, angka penurunan konsumsi anjlok drastis menjadi 12,3 juta KL pada Tahun 2017, dan ini merupakan angka penurunan terbesar, yaitu sejumlah 9.3 juta KL,” kata dia.
Menurut Defiyan, penurunan penjualan premium Pertamina 5 tahun terakhir ini mengindikasikan bahwa konsumen sebenarnya telah memiliki kesadaran atas kebutuhan BBM ramah lingkungan. Tapi masalah utama sejak Tahun 2014 dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (yang dirubah menjadi Perpres No.43 Tahun 2018) justru berada pada komitmen Pemerintah sendiri.
“Premium sebagai BBM beroktan rendah apabila disediakan terus tentu akan membuka peluang konsumen untuk terus mengkonsumsi. Apalagi jumlah kendaraan bermotor roda dua semakin meningkat dengan adanya kebijakan izin angkutan umum yang diberikan oleh Kementerian Perhubungan. Ini membuat kebijakan pemerintah menjadi absurd dan tak masuk akal,” tukasnya.
Lebih jauh ia mengatakan, bahwa saat ini memang ada perubahan dalam perilaku konsumen atas perubahan penggunaan konsumsi premium yang lebih sadar atas pemeliharaan kendaraannya. “Jadi selain banyak pilihan BBM yang disediakan oleh Pertamina saat ini, memang tampak ada perubahan pola konsumsi masyarakat yang memilih jenis BBM beroktan lebih tinggi, yang mampu meningkatkan kinerja (kecepatan, kehandalan, dan pemiharaan) kendaraan mereka yang lebih baik,” kata Defiyan.
“Saat ini, sebagian besar pemilik sepeda motor mulai meninggalkan premium, terutama sepeda motor jenis matic, yang lebih banyak menggunakan Pertalite atau Pertamax sebagaimana ditunjang buku petunjuk kendaraan bermotor dan dealernya. Bahkan, bisa jadi telah terjadi perubahan perilaku di kalangan pemilik mobil dan sepeda motor yang “malu” membeli BBM bersubsidi seperti Premium,” katarya.(Sya)